Nomaden.
Mungkin itu sebutan yang pas untuk keluargaku.
Sejak umurku sepuluh tahun, keluargaku terbiasa berpindah rumah, pekerjaan Dad-lah yang menjadikan kami harus terus beradaptasi dengan lingkungan baru. Kami selalu menyewa rumah paling lama dua tahun, tidak pernah membeli dan meninggalinya dalam jangka waktu lama.
Kau bisa bilang aku adalah remaja cewek dengan total teman terbanyak senegara bagian. Tetapi ironisnya, kondisi itulah yang justru membuatku tidak punya teman betulan. Maksudku, sahabat karib.
Pada awalnya aku memang sangat sedih harus berpisah dengan teman-teman dan rumah lamaku. Namun seiring berjalannya waktu, aku sadar bahwa menangisi kepindahanku hanya akan membuang air mataku sia-sia. Maksudku, melelahkan kan jika kau harus terus menangisi temanmu sampai matamu babak belur, dan itu rutin terjadi tiap tahun?
Parahnya, ketika kau memutuskan untuk menghadapi kehidupan baru di sekolah baru bersama teman-teman baru yang ternyata tidak buruk-buruk amat dan kau mulai terbiasa dengan semua itu, kau dihadapkan kembali pada kenyataan bahwa Dad mengumpulkanmu, adik perempuanmu, dan ibumu di meja makan untuk berkata, "Well Madisons, kita harus pindah lagi."
Berarti kau harus nangis lagi, bukan?
Itulah mengapa aku berusaha sejarang mungkin bersosialisasi dengan teman-temanku, bersikap tidak menonjol di sekolah-kayak aku populer saja-dan berupaya 'menenggelamkan diri dari keceriaan masa remaja' atau apapun istilah yang sering dipakai adik perempuanku Claire terhadapku. Bukannya aku remaja aneh atau apa. Aku hanya berusaha menghidari lebih banyak air mata.
Claire sendiri sungguh kebalikan dariku. Dia periang, supel, pintar berbicara, gampang membaur, dan penuh percaya diri. Dan seorang cheerleader. Dia selalu memiliki sekelompok teman-teman yang merendenginya bagai lebah pekerja dengan ratunya. Dia doyan gonta-ganti pacar, dan pacar-pacarnya juga populer. Ibuku sangat bangga akan kepribadiannya. Ibuku selalu percaya bahwa gadis dengan kepribadian secerah Claire akan mendapat masa depan yang juga cerah.
Sedangkan aku, menurut Mom aku seperti buku berdebu yang diletakkan paling pojok pada rak di sudut terjauh. Katanya aku terlalu pasif dan pendiam, hingga nyaris terlupakan. Walaupun dia bersikeras aku sama cantiknya dengan adikku kalau saja aku mau 'menyingkirkan debuku'. Entah apa maksudnya.
Well, Mom jarang berbicara denganku-bukannya dia membenciku atau apa-tetapi obrolan kami seringkali berakhir dengan kecanggungan. Sebaliknya, Dad sangat dekat denganku. Bila dibandingkan, ibaratnya Mom bicara soal gaya rambut Ryan Seacrest dan spa cokelat. Ayahku bicara soal kemungkinan legalnya kloning manusia seratus tahun ke depan dan Discovery Channel.
Kutekankan lagi, bukannya aku ini kutu buku. Hanya saja, membahas topik-topik semacam itu jauh lebih seru dibandingkan membahas Ryan Seacrest dan spa cokelat.
Seperti yang sudah berusaha kusampaikan, aku tidak pernah punya banyak teman dekat. Jadi aku hanya pernah memiliki satu teman yang betul-betul akrab, Leanna. Leanna juga berada di rak yang sama denganku, hanya saja dia tidak di pojok-pojok amat. Dia menggunakan istilah 'transparan' untuk kami-yang berarti kami ini nihil di mata orang lain. Tapi kemudian aku harus menerima kenyataan pahit bahwa Leanna harus pindah jauh seperti halnya aku. Kami terpisah, dan itu berarti aku kembali sendirian.
Dan musim semi ini lagi-lagi kami sekeluarga harus mempersiapkan diri untuk kembali menjadi bunglon. Kami baru pindah dari Los Angeles menuju Redville, sebuah kota kecil agak ke utara Amerika. Aku membayangkan kengerian yang akan dihadapi Mom atau Claire. Bayangkan saja, hengkang dari L.A. hanya untuk rumah di sebuah kota kecil yang bahkan namanya belum pernah kami dengar sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redville
Подростковая литератураMemiliki nama yang sama dan wajah yang mirip dengan seorang cewek yang tidak dikenal? Chloe Madison mengalaminya pada kepindahannya kali ini, di Redville. Dia menemui segudang orang yang mengatakan dia mirip seseorang yang juga bernama 'Chloe', dan...