Chapter 10

260 70 12
                                    

"Kau akan datang lagi minggu depan?" tanyaku pada Ethan, seusai berpamitan pada Suster Frida setelah kami berdua menghabiskan waktu dengan Rose hingga sore hari. Ethan mengangguk, ekpresi cueknya yang biasa sudah kembali.

Namun alih-alih kembali ke tempat dia memarkir mobil, Ethan mengajakku mengitari gedung, menuju ke belakang gereja. Kami berjalan beriringan, menuruni bukit hingga tiba di batas pekarangan St. Carollus yang berpagar kayu tinggi dan tertutup semak-semak tak terurus. 

Aku mulai menduga-duga lagi. Jangan-jangan aku betulan bakal ditelantarkan di sini.

"Ke sini." Ethan membimbingku ke celah di antara pagar dan semak yang cukup besar untuk dilewati. Dia merunduk dan menerobos lewat celah itu. Aku mengikutinya ogah-ogahan.

Halaman belakangnya tidak sebagus yang kuharapkan. Tampaknya dulu ini adalah lapangan basket, namun sekarang keadaannya begitu tak terurus karena terbengkalai. Tanahnya ditutupi daun-daun kering yang berguguran, ring bolanya juga kelihatan rapuh dan berkarat.

"Tempat favoritku." jelas Ethan pendek.

"Kenapa..." ujarku keheranan, "...lapangan tua ini bisa menjadi tempat favoritmu?"

Ethan tidak menggubrisku. Dia membuka ranselnya dan mengeluarkan bola basket dari dalamnya. Lalu kakinya sibuk menyingkirkan daun-daun yang menutupi tanah. Setelah agak bersih, Ethan mulai mendribel bolanya.

"Sejak sekolah dasar aku sudah menggemari basket. Di samping gitar. Dan ke sinilah aku pergi pada malam sebelum pertandingan pertamaku. Ini bola pertamaku, kau tahu."

"Tapi kayaknya bolamu nggak sayang pada hidungku."

Ethan lagi-lagi tidak menggubris sindiranku. Dia menangkap bolanya dan melakukan long shoot. Kling! Bola masuk dengan mulus.

"Kemudian aku jadi sering berlatih di sini. Sampai akhirnya panti asuhan ini dibangun. Dan dari situlah aku mengenal Rose."

Aku hanya menonton Ethan berulang kali mendaratkan bolanya dengan sukses melewati ring, sambil bertanya-tanya dalam hati ke manakah arah pembicaraannya.

"Orangtua dan kakak laki-lakinya tewas dalam kecelakaan ketika dia berumur tiga tahun. Hanya dia yang selamat. Selama di St. Carollus dia jadi begitu tertutup dan pemurung. Sekali, dia kabur dari panti dan bersembunyi di lapangan ini. Aku menemukannya sedang menangis di balik semak-semak. Aku, yang kebingungan setengah mati, hanya bisa duduk menemaninya hingga kemudian salah seorang Suster yang panik menemukan kami."

Ethan mendengus pelan mengingat masa itu. Lalu dia kembali mendribel bolanya.

"Menurut Suster Kepala, semenjak kehadiranku dia jadi lebih besemangat. Sejak saat itu setiap hari sepulang sekolah, aku menyempatkan mampir ke sini. Tidak peduli jam berkunjung sudah lewat. Malam hari sekalipun para suster masih mengijinkanku. Aku sering memainkan gitarku untuknya waktu sedang senggang. Pernah sekali aku tidak bisa datang karena sakit. Dan Rose menolak makan malamnya. Tetapi sekarang sudah tidak begitu. Aku memarahinya."

Ethan mengakhiri perkataannya dengan melakukan long shoot. Masuk lagi.

"Kurasa... dia bukan hanya suka padamu." komentarku perlahan, "Mungkin saja dia melihatmu dan... teringat sosok kakak laki-lakinya?"

Bola Ethan kembali masuk ke ring dengan bunyi kling pelan.

"Entahlah." Ethan mendribel lagi, aku bisa melihat rahangnya mengeras. "Aku merasa dia jadi begitu... bergantung padaku. Tahukah kau alasannya bertahan di panti asuhan selama empat tahun ini, walaupun cukup banyak calon orangtua yang mengunjunginya?"

Aku teringat gambar yang ditunjukkan Rose pada kami berdua tadi. Gadis kecil berambut keriting yang bergandengan dengan pemuda berambut hitam yang membawa gitar. 

RedvilleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang