Chapter 13

304 72 20
                                    

Rumah Seth sungguh sesuai dugaan.

Di kota sekecil ini, bangunan semacam rumah Seth mungkin pantas disebut gedung pemerintahan. Klasik, mewah, dan sangat luas.

Tidak mengherankan Seth dianugerahi Porsche hanya untuk ke sekolah. Pasalnya, jarak dari pagar rumah menuju teras depannya saja mungkin berkisar seratus meter. Pilar-pilar pualam tinggi yang menyangga sebuah beranda besar persis di atas teras menghiasi wajah rumah itu dengan anggun. Ada air mancur di pusat taman yang dikelilingi oleh jalur mobil. Lampu-lampu sorot kecil menyinari semak-semak hias rapi di sepanjang halamannya yang super luas, memberi efek pencahayaan yang tidak berlebihan, namun mengagumkan. Dari jendela yang besar-besar telihat cahaya lampu kristal yang berasal dari dalam rumah, begitu cantik di malam hari.

Seth mengemudikan Porsche-nya melewati gerbang yang dijaga dua petugas keamanan yang menyapanya dengan ramah. Lalu dia mengamati reaksiku.

Aku meringis.

"Apa?" tanyanya penasaran.

"Nggak. Aku seperti sedang syuting MTV Teen Cribs." jawabku sembari mengagumi pemandangan di hadapanku, "Ditambah, ini pertama kalinya aku naik Porcshe. Jadi... yah."

Seth hanya nyengir. Dia mengemudikan mobilnya memasuki garasi bawah tanah yang sepertinya lebih luas dari seluruh bagian rumahku, dan tentu saja dihiasi beragam mobil yang, dugaanku, edisi terbatas dan tidak diperjualbelikan secara luas di sembarang negara.

"Seth... apa sih pekerjaan orang tuamu?" aku tak bisa lagi menahan keinginan untuk menanyakannya ketika kami turun dari mobil. Seth menekan remote kecil untuk mengunci mobilnya hingga berbunyi bip bip pelan sambil mengulum senyum.

"Ayahku kepala manager pemasaran perusahaan otomotif di Rusia, ibuku memproduseri beberapa pertunjukan teater. Biasanya di Shakespeare Globe, London. Kebetulan mereka sedang ambil cuti."

"Itu... menjelaskan semuanya." simpulku.

"Well, syukurlah kau nggak sekaget yang kubayangkan." Seth nyengir, lalu dia menuntunku menuju salah satu pintu, "Lewat sini, kita jadi nggak perlu berjalan ke teras lagi. Lagipula pintunya berat banget."

Aku berjalan di belakang Seth, mulai merasa gugup. Aku memperhatikan pakaianku, apa benar ini pantas untuk jamuan makan malam di rumah semegah ini?

Kami memasuki ruang depan yang persis seperti lobi utama hotel bintang lima, seluruh lantai dilapisi marmer, langit-langitnya tinggi, pintu masuk utamanya terbuat dari kayu—entah jenis apa, tapi pasti berkualitas tinggi dan memang kelihatan sangat berat hingga mungkin butuh lima orang untuk membukanya—dan luar biasa besar. Aku mengamati dekorasi yang bernuansa semi-medieval di sekitar situ, dilengkapi patung-patung batu yang dipoles dan ukiran-ukiran di dinding yang sangat indah. Kami tiba di tangga besar menuju lantai dua.

"Ruang makannya di bawah sini, tapi kita akan ke atas sebentar, untuk menyapa ayah-ibuku." Seth memberitahuku.

"Tentu." aku mengangguk-angguk, mendadak diliputi perasaan formal aneh yang membuatku berpikir jangan-jangan aku bukannya mau makan malam di rumah salah seorang teman, tapi makan malam dengan semacam petinggi negara.

"Santai saja." Seth menahan senyum, "Aku toh bukannya mau melamarmu atau apa."

Sulit memastikan apakah aku jadi semakin mudah atau semakin sulit bernapas setelah dia berkata seperti itu.

Kami menaiki tangga, yang bunyinya menimbulkan gaung keras di sekitar kami setiap kami melangkah. Lalu melewati lorong panjang dan memasuki salah satu ruangan luas dengan interior serta dekorasi yang didominasi kayu warna gelap, dengan lantai berlapis karpet merah marun. Rak-rak buku tinggi dan padat memenuhi sisi-sisi ruangan. Sofa-sofa besar, mewah, dan empuk tersebar di sudut-sudut yang tepat. Ada meja kerja di ujung ruangan, dengan jendela kaca besar dari langit-langit ruangan hingga menyentuh lantai di latar belakangnya. Ini pasti perpustakaan atau semacam...

RedvilleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang