"Hanya itu?"
"Yeah."
"Hmm."
Leanna memicingkan matanya, kebiasaannya ketika sedang berpikir keras. Kami sudah berputar-putar sekitaran Swanton Shore—yang dicap sebagai pusat pertokoan hip terbesar di perbatasan Redville setelah Birch's End—sebanyak tiga kali dan Leanna masih belum puas mendengarkan penjelasanku tentang reaksi Ethan. Terhadap rambut baruku, maksudnya.
Ya, topik hangatnya masih tentang rambutku dan aku yang mencoba membuktikan bahwa aku bukan mantan pacar atau mantan kakak siapapun.
Leanna memberi isyarat padaku untuk keluar dari toko baju keempat yang kami kunjungi sore itu. Di luar udaranya hangat. Ada alasan mengapa tempat ini dinamakan Swanton Shore. Pertokoan ini berderet di sepanjang dermaga yang mengarah langsung ke sungai besar pemisah kota Redville dan Swanton. Matahari senja menimpa kami dengan semburat jingga kemerahan hingga membuat Converse biruku tampak memudar.
"Nggak mengatakan apa-apa lagi setelahnya?" Leanna bertanya lagi untuk yang kesekian ratus kalinya sementara kami berjalan menyusuri dermaga. Aku mendesah bosan.
"Demi Tuhan, Lee. Hanya itu." sahutku, "Lagipula apa yang memangnya bisa kuharapkan?"
Leanna mengacungkan telunjuknya ke hidungku, "Jawaban macam 'usaha yang bagus' itu nggak menjelaskan apa-apa. Apakah dia memujimu? Atau menghargai usahamu? Atau justru sindiran yang berarti dia nggak menganggap serius 'perubahan'mu? Bikin frustasi saja."
"Kau memikirkannya kelewat keras." komentarku, dalam hati mengakui bahwa aku adalah pembual sejati mengingat aku memikirkan perkataan Ethan lebih keras dari siapapun sepanjang malam. Apa yang kulakukan? Aku memang menyedihkan.
Leanna mendadak mengerem langkahnya, pandangannya terpaku pada satu arah jauh di depan kami. Lalu kulihat dia melambai bersemangat ke seseorang yang tengah mengantre di kios kopi, "Oh, Seth!"
Seth menoleh dan melihat kami. Dia balas melambai seraya melayangkan senyuman seribu watt-nya ke arah kami. Leanna menarikku—tepatnya menyeretku—untuk menghampiri cowok itu.
Seth, syukurlah, sudah tampak lebih segar dibandingkan beberapa hari belakangan. Dan, entah bagaimana, dia terlihat semakin menggemaskan di sore hari ini walau hanya mengenakan kaus santai abu-abu sederhana dan training olahraga. Mungkin karena cahaya senja yang menimpa rambutnya hingga terlihat keemasan. Atau pada matanya yang membuat warna cokelatnya lebih jernih dari biasanya.
"Habis lari?" sapa Leanna.
"Yeah, dokter menyarankan menambah porsi jogging ringan soreku."
Bisa kurasakan Seth tengah mencuri pandang ke arahku. Sejujurnya, kami masih agak canggung. Aku diam saja, berpura-pura tertarik dengan menu kopi yang terpampang di atas kepala Seth.
Lalu Seth balas bertanya, "Habis belanja?"
"Hanya beli beberapa barang lucu. Chloe belum pernah ke sini sebelumnya, maka aku jadi pemandu sehari." Leanna mengedip padaku, "Tapi kami baru akan berpisah jalan..."
Apa?
"Aku sudah janji untuk menjemput nenekku dan menemaninya membeli bibit-bibit bunga baru untuk pekarangannya..."
Aku memandangi Leanna heran. Sejak kapan Leanna begitu akrab dengan neneknya, yang notabene tinggal ratusan mil dari Redville?
"...mau kubantu bawakan barangmu hingga ke halte?" Leanna mendadak bertanya kepadaku, "Sori, kau jadi harus pulang dengan bus..."
"Aku bisa mengantarmu." Seth menawarkanku.
Oh. Lee... dasar kau rubah licik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redville
Teen FictionMemiliki nama yang sama dan wajah yang mirip dengan seorang cewek yang tidak dikenal? Chloe Madison mengalaminya pada kepindahannya kali ini, di Redville. Dia menemui segudang orang yang mengatakan dia mirip seseorang yang juga bernama 'Chloe', dan...