Chapter 22

234 61 12
                                    

Seth Winchester baru saja menciumku.

Aku bahkan tidak sempat merasakan sensasinya saking syoknya.

Tahu-tahu dia sudah menjauhkan wajahnya dari wajahku, sepasang matanya yang cokelat itu memandangiku.

Seth tampak agak terguncang. Bukan terguncang sepertiku, itu sesuatu yang lain. Sesuatu seperti jika dia berpikir bisa-bisanya dia berbuat senekat itu. Tetapi ekspresinya tidak sepenuhnya syok. Itu juga ekspresi yang hampir bisa dibilang... agak puas.

Dan reaksi pertamaku adalah melihat panggung. Jantungku berdebar keras, namun tidak ada hubungannya dengan pengaruh dentuman speaker. Ethan sudah kembali ke gitarnya. Tidak ada yang aneh dengan gerak-geriknya.

Lalu aku menatap Seth, murni kebingungan. "A-apa yang kaulakukan?"

Raut puas Seth perlahan memudar menjadi ekspresi lain.

Dia tampak menyesal.

"Maafkan aku. Aku bukan... aku tidak seharusnya—"

Aku terdiam, terhenyak. Seth menciumku. Seth Winchester barusan menciumku. Pertanyaan yang seharusnya adalah, apa yang KU-lakukan? Bukankah sudah lama aku naksir padanya? Cowok imut yang pertama kali menyapaku di kelas bahasa Inggris? Cowok yang warna mata dan rambutnya sama dengan dedaunan maple kering yang kulihat setiap hari melalui jendela kamarku? Cowok yang mengajakku ke prom?

Tetapi yang bisa kulakukan hanyalah bengong memandangi cowok itu. Dan merasa bingung. Dan syok.

Aku kembali melihat ke arah panggung, seketika aku dihantam kecemasan.

Apa dia melihatnya?

Sepanjang sisa penampilan Northern, situasinya benar-benar canggung. Kami kembali membaur dengan tim Redville di bawah. Aku terlalu kaget dan malu, sehingga tak mampu mengatakan apa-apa, sementara Seth tak lebih baik dariku. Hingga akhirnya penampilan Northern selesai—diiringi tepukan dan suitan dan sorakan riuh rendah dari seluruh penonton, Seth baru membuka suara.

"Kurasa sebaiknya aku pergi saja." katanya padaku, dengan sorot meminta maaf, "Aku benar-benar..."

Aku membuka mulutku, namun tak ada suara yang keluar.

Seth tampak kacau, "Maaf." katanya sekali lagi, lalu dia berbalik dan berjalan menjauh menuju pintu keluar. Di saat yang bersamaan, aku menangkap gerakan samar di sudut mataku yang nyaris terlewatkan karena kondisi di area sekitar panggung yang gelap.

Sosok Ethan berjalan menuju Seth dengan langkah-langkah panjang dan cepat. Namun Seth tidak melihatnya. Aku tak mampu membaca situasi, dan jelas-jelas tak menduga kalau ternyata malam itu bukan Seth satu-satunya yang mampu bertindak nekat.

Ketika cahaya lampu sorot yang kini kembali menyala untuk band berikutnya itu melewati sosok Ethan, menerangi wajahnya sekilas, barulah aku menyadari kegawatan situasinya.

Kepalan tangan kanan Ethan terangkat dan dengan kecepatan yang nyaris mengerikan, tinju itu menghantam sisi wajah Seth hingga cowok itu terhuyung dan tersungkur jatuh ke belakang. Aku menjerit dan berlari ke arah mereka, walaupun aku tahu itu sia-sia dan terlambat. Dan selama beberapa detik tidak ada yang menyadari apa yang sedang terjadi, hingga seorang petugas di dekat panggung melihat Seth yang tersungkur perlahan bangkit dan menerjang Ethan.

Perlu waktu bagiku untuk mencapai tempat Seth dan Ethan, demikian pula dengan penjaga itu—yang kulihat sekilas sibuk ber-walkie-talkie dengan rekannya seraya berlari menghampiri kedua cowok yang sekarang sudah saling bergumul di tanah.

Aku melihat Seth, berada di atas Ethan. Tinjunya mendarat di wajah Ethan, berkali-kali, keras dan menyakitkan. Dalam beberapa detik yang mencekam itu aku tahu seharusnya Ethan bisa membalas, namun dia tidak bergerak.

RedvilleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang