"Aku nggak bisa pergi."
"Apa?"
Suara parau Leanna terdengar dari seberang. Wajahku pastilah begitu telihat syok sampai-sampai Rose berhenti menuang tehnya di cangkir Mrs. Toots—boneka kelincinya—dan menatapku aneh. Kami sedang bermain pesta teh di kamar Rose di St. Carollus sore itu, hari Sabtu.
"Tapi kau sudah janji."
"Yeah, janji yang kubuat ketika aku sedang sehat." Leanna menyahut. terdengar suara membersit. Flu-nya memang kedengaran parah, "Lagipula aku nggak wajib menghadirinya, jika kau tahu maksudku."
"Yeah, tapi aku nggak mau kelihatan tolol menonton mereka sendirian di tengah-tengah penonton..."
"Dengar. Aku mengerti. Aku akan mengusahakannya."
Aku mendesah lega. Sejujurnya, aku mengajak Leanna karena ide menonton konser sendirian—walau dari backstage sekalipun—merupakan ide yang sedikit menakutkan, "Trims. Aku akan mentraktirmu minuman hangat..."
Leanna membersit hidungnya lagi, "Terserah."
Lalu sambungan diputus. Aku bengong sejenak menatap layar ponselku. Lalu aku mendongak menatap Rose.
"Kau bisa mengajakku." saran gadis kecil itu sok pengertian. Aku tersenyum meminta maaf.
"Di sini tertulis 'lima belas tahun ke atas'..." aku menunjukkan brosur konser yang kubawakan untuk Rose, "Lagipula aku ragu kau bakal suka sebagian besar lagu yang dibawakan. Isinya teriak-teriak melulu..."
"Hei, band-ku nggak teriak-teriak."
Suara protes yang terdengar dari belakangku itu berasal dari Ethan, yang rupanya sudah berdiri di pintu. Dia kelihatan lain, mungkin karena dia sudah sembuh total dari flunya dan tampak segar. Atau mungkin efek gaya rambutnya, karena rambut gondrong sebahunya yang belakangan sering dikuncir kuda asal kini dibiarkan tergerai. Dia juga mengenakan jaket kulit cokelat gelap, kaus, dan celana jins terbaiknya. Satu bahunya bersandar pada kusen pintu, dengan dua tangan yang dimasukkan ke saku celana. Ethan menatapku dengan ekspresi tak setuju. Dia tampak...
"Kau tampak keren." Rose menyuarakan pikiranku.
"Trims." Ethan melangkah masuk ke dalam ruangan dan berdiri persis di belakangku. Aku bahkan tidak mengerti mengapa hal sesederhana itu mampu membuat tengkukku merinding dan wajahku mendadak menghangat, "Dan si keren ini datang untuk menjemput salah satu tamu kehormatan pesta teh Putri Brooke yang tersohor..."
"Sudah kubilang," Rose mengangkat satu tangannya untuk menghentikan Ethan dengan gaya bersahaja, "Cukup 'Rose' saja."
"Dimengerti." Ethan menghampiri Rose dan mengangkat gadis itu ke gendongannya. Rose terkikik. Aku mengutuk diriku sendiri dalam hati karena sempat merasakan setitik kecemburuan menyaksikan pemandangan itu.
Astaga, kendalikan dirimu, Chloe!
"Kau boleh mengajaknya." kata Rose sambil menatapku, seolah aku memang betul-betul memerlukan restu darinya. Cengiran Ethan mengembang.
"Aku berjanji akan mengembalikannya dalam keadaan utuh." katanya.
"Kau pernah meminjam Mr. Toots dan mengembalikannya dengan satu telinga yang nyaris copot." protes Rose, membuatku terbelalak.
Ethan melirikku sekilas sebelum menjawab, "Aku sudah pernah bilang padamu, Kevin yang meminjamnya dan membuatnya tersangkut di pohon. Aku harus mengambilnya dan membawanya pulang padamu karena dia begitu ketakutan."
"Aku akan membuat perhitungan dengan Kevin." Rose mengerucutkan bibirnya.
"Oh, dia tidak pantas mendapatkannya..." Ethan lagi-lagi melirikku penuh arti, "...karena memang itu tujuannya. Dia ingin mendapat perhatianmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Redville
Teen FictionMemiliki nama yang sama dan wajah yang mirip dengan seorang cewek yang tidak dikenal? Chloe Madison mengalaminya pada kepindahannya kali ini, di Redville. Dia menemui segudang orang yang mengatakan dia mirip seseorang yang juga bernama 'Chloe', dan...