II

14.2K 865 4
                                    

"Maaf Kak...,Aisya tidak bisa menerima lamaran Kakak" prologku mengawali keheningan beberapa menit yang lalu. Merunduk menyembunyikan luka.

"Kenapa? Beri alasan mengapa Aku tertolak?"

"Tidak, bukan begitu Kak" kumainkan ujung jilbab abu-abu_ku yang entah se-lusuh apa tampilan-nya kini.

"Lantas?" selidiknya

"Saya...," sakit rasanya, saat kau bicarakan luka yang jangankan sembuh, melupakan saja kau tak bisa.

"Kau boleh terluka, asal jangan terlalu lama bertahan dalam luka, Sya" katanya. Yang lebih terdengar seperti pesan, sebenarnya.

Katakan, adakah hal yang lebih terluka dibanding suatu harapan yang terangkai indah lalu terhempas begitu saja? Atau jangankan rindu yang berujung temu; yang ada hanya menunggu yang berujung dungu. Shahriar, kau sukses mengukir luka tanpa cela. Benar-benar tanpa cela.

***

"Bu, apa Aisya tanyakan saja pada Kang shahriar gimana lanjutan hubungan kami?" tanyaku pada ibu sambil sesekali memijat kakinya yang terlihat gurat-gurat otot tanda lelah.

"Jangan Nduk, tunggu saja. Sabar"

"Tapi Bu...,"

"Tidak ada hal lain yang lebih baik dari seorang wanita kecuali saat Ia menjaga muru'ah-nya" Ibu memandangku diselingi seutas senyum di tarikan bibirnya. Aghh, bagaimana ada seorang manusia berhati malaikat seperti Ibu. Ingin rasanya kupeluk Ibu, menumpahkan segala rasa, yang mungkin saja menghasilkan air mata. Ibu, anakmu terluka. Sungguh terluka. Terlalu dalam.

"Jadi apakah Aisya harus diam, Bu?"

"Ada kalanya, diam lebih baik atau memilih bicara pada waktunya"

***

Mataku terjaga, mengingat kembali serpihan-serpihan luka dan segala kenangannya. Mengingat pula kemungkinan kembali terluka dalam cerita yang sama.

Menolak cinta agar tidak kembali terluka adalah pilihan yang terbaik saat ini. Pikirku.

Derrtt! Derrtt!
Ponsel di nakas sebelah ranjangku berkedip-kedip.

'Kau belum tidur?'

'Siapa?' balasku bertanya

'Kau'

'Maksudku, kamu siapa?' menjengkelkan sekali orang ini. Batinku.

'Raihan Albirruni'

'Oh' balasku singkat. Terlarut dalam tanya. Perihal caranya mendapatkan nomer ponselku. Ahh, kau ini Aisya! Jelas suatu hal mudah bagi seorang ketua BEM hanya untuk mendapatkan nomer mahasiswi tak berpengaruh seperti diriku ini. Seperti mudahnya mencari bintang di malam hari saat mendung tak datang.

'Hanya sesingkat itu?'

'Lalu?' semakin menjengkelkan saja pria ini. Rasanya semakin aku berlari semakin dekat pula Ia mengejarku. Allahu robbi, aku hanya takut terluka kembali. Itu saja.

'Boleh kita berteman?' tanyanya dalam pesan.

'Kak, Aisya tidak bisa' sungguh, apa telinga pria setampan dia juga bisa bermasalah? Atau suaraku saja yang kurang terdengar saat mengatakan penolakan tadi siang? Aku rasa tidak.

'Aisya, aku hanya meminta berteman bukan kembali melamar setelah jelas-jelas tertolak' balasnya dengan akhir emoticon tertawa. Benar-benar tertawa atau hanya sekedar menyembunyikan kesedihan di balik emoticon. Seperti kebiasaanku.

'Okey, berteman terdengar sedikit menyenangkan' aku setuju. Hanya untuk berteman.

'Good joob, Nona' pujinya. Ahhh pria ini membuat sedikit puyeng tambahan di kepala mungilku.

Aku bangkit dari ranjang yang sedikit terlihat tua ini. Berjalan di tengah temaram lampu ruang tengah. Kuputuskan mengambil wudhu lalu sedikit mencurahkan segalanya pada Sang Maha Pendengar di penghujung malam. Berharap segalanya terkabul sebelum fajar. Terkesan memaksa, memang. Tapi Ia Maha Berkuasa, jika Ia berkehendak maka terjadilah segalanya. Dengan mudah. Percayalah.

***

"Nduk, bagaimana nak Raihan kemarin?" tanya ibu di sela-sela kegiatan memasak pagi ini.

"Bagaimana apanya, Bu?" membalas pertanyaan dengan pertanyaan adalah hal yang tidak dibenarkan, tapi ke-enggananku membahas masalah kemarin mentuntunku melakukan itu.

"Mengenai i'tikat baik nak Raihan mengkhitbahmu, Nduk" ibu memperjelas.

"Aisya...,menolaknya Bu"

"Ibu tau kamu masih takut untuk membuka hati, tapi jangan terlalu larut seperti ini, Nduk"

"Bu, Aisya hanya takut mengecewakan Ibu sama Bapak untuk yang kedua kali" kali ini suaraku benar-benar sedikit bergetar.

"Serahkan saja pada gusti Allah Nduk, sebab apa yang dilakukan gusti Allah tidak sanggup kamu lakukan"

"Yang penting tetaplah tegar. Setegar sayyidah Aisyah RA." ya, namaku memang Aisya, tapi untuk menjadi setegar Sayyidah Aisyah RA bukanlah suatu hal yang mudah, bukan? Aku terlalu jauh dari sosok Sayyidah Aisyah, wanita yang mempresentasikan keteguhan dan kelembutan dalam satu jiwa sekaligus.

Aku hanya tertunduk sambil meneruskan mengiris bawang yang membuat mataku semakin tak kuasa menahan bulir-bulir beningnya.

Apa semua sosok ibu memang di ciptakan seluas ini hatinya? Setegar ini jiwanya? Dan se-positif ini pemikiran-nya?

Dulu aku berfikir ibu adalah sosok cerewet, yang rela waktu istirahatnya terbuang sia-sia hanya demi memarahiku karena terlalu lama mengotak-atik ponsel tanpa mengingat waktu. Juga, seseorang yang hampir menyerupai alarm 5 kali dalam sehari untuk mengingatkan dua adik perempuan dan diriku melaksanakan sholat tepat waktu, yang tak jarang berakhir ramai oleh aksi-aksi menghindar kami yang sedikit absurd. Dan kini setelah beranjak dewasa, aku tau bahwa yang ibu lakukan adalah demi kabaikan kami. Begitulah Ibu membentuk karakter anak-anaknya.

Ibuku bukanlah lulusan sebuah perguruan tinggi. Beliau hanya mengampuh ilmu agama beberapa tahun di sebuah pesantren. Tapi jangan tanyakan bagaimana hasil didikan ibu terhadap anak-anaknya. Beliau selalu menanamkan prilaku-prilaku baik terhadap anaknya. Dan kurasa setiap ibu juga berlaku demikian, baik yang sarjana, master, doktor, profesor, ataupun yang diatas profesor sekaligus, entah apa namanya atau juga yang hanya bergelar ibu rumah tangga. Jika memang ada seorang Ibu yang berprilaku jelek hingga kriminal, aku yakin dalam jiwanya masih tertanam sedikit kebaikan, bukankah begitu?

Ibu memang segalanya.

***

"Tetaplah berbuat baik, Nduk. Meskipun Tak semua kebaikanmu dibalas dengan kebaikan"





Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang