XXIII

11.1K 789 54
                                    

Aku menggeliat di tengah rasa kantuk yang masih tersisa, dengan mata yang sedikit sayup, bangun tidur. Perjalanan ini membuatku tak sadar tertidur meninggalkan kak Raihan menyetir tanpa teman ngobrol.

Kurapikan letak jilbabku yang sedikit awut-awutan karena tertidur di kursi mobil dengan posisi duduk, juga membuat leher belakang terasa begitu pegal. Entah, sudah berapa lama aku terpejam. Namun, perjalanan ini tak kunjung sampai.

"Dateng pundi niki, Mas?" masih dengan suara khas bangun tidur, aku menanyakan keberadaan kami.

Dia menoleh ke arahku, sekilas. Tangan kirinya kini berada di puncak kepalaku, mengelusnya dengan lembut.

"Batu, Za" jawabnya singkat dengan tangan kanan yang tetap mengendalikan kemudi.

"Batu?"

"Hmm"

Batu? Pantas saja udaranya terasa begitu asri. Pohon-pohon yang berjajar rapi sehingga terlihat begitu hijau dan menyegarkan. Terlihat pula beberapa warga sekitar yang tengah sibuk merawat perkebunan mereka, demi sesuap nasi. Sungguh menentramkan.

Batu adalah sebuah kota yang berada di ketinggian 700 - 2.000 meter di atas permukaan laut. Maka tak heran suhu di kota ini begitu sejuk, bahkan bisa di bilang dingin. Seingatku kota Batu dulu masih termasuk dalam wilayah kabupaten Malang. Namun, entah sejak tahun berapa Batu mulai menjadi kota yang terpisah. Sudah lama aku tidak mengunjungi kota ini, mungkin terakhir kali pas liburan ke Selecta di jaman taman kanak-kanak. Dahulu kala banget.

"Oh ya, Mas. Lanopo bocah-bocah tadi kok mboten tinggal di pesantren saja? Kan lebih enak mengawasinya"

Kuputuskan untuk tidak bertanya kemana dia akan membawaku pergi. Percuma, pasti kak Raihan juga tidak akan memberitahukan perihal tujuannya.

"Di panti kan juga ada yang ngawasi, Za"

"Njeh, tapi kan ... Kalau tinggal di pesantren, mereka saget kaleh belajar kitab-kitab juga" jelasku.

"Begini Za, pendidikan di pesantren memang bagus. Tapi lingkungan pesantren seperti yang di rumah itu, menurutku tidak begitu efektif untuk bocah-bocah panti, Za" terangnya dengan tangan kiri yang sibuk meraba tempat ia meletakkan ponselnya.

"Kok saget?" tanyaku bingung. Bagaimana bisa lingkungan pesantren tidak efektif bagi bocah-bocah panti. Sedangkan di luar sana banyak sekali bocah yang seumuran dengan mereka sudah belajar di pondok pesantren. Dengan perkiraan umur lima sampai dua belas tahun.

"Sebab santri pesantren yang di rumah itu mayoritas atau hampir semuanya adalah anak-anak dengan umur dua belas tahun ke atas. Jika bocah-bocah panti di gabung sama mereka, yang aku takutkan bocah-bocah panti akan kesulitan mengimbangi pola belajar santri-santri lainnya. Kau tau maksudku kan, Za?"

Aku mengangguk, membenarkannya.

Memang benar, jika mereka yang masih dalam tahap anak-anak, di satukan dengan santri yang sudah beranjak dewasa maka yang ada pola pikir anak akan terpengaruh oleh lingkungan yang berpola pikir remaja. Dan itu, seperti kata kak Raihan, tidak cocok.

"Beda lagi kalau pesantrennya memang untuk anak-anak, karena biasanya pesantren yang seperti itu metode belajarnya sudah diatur sedemikian rupa, sesuai tumbuh kembang anak-anak. Lebih efisien karena lingkungan juga mendukung" lanjutnya memberi penjelasan.

Derrt! Derrt! Derrt!

Ponsel kak Raihan berkedap-kedip. Mungkin ada panggilan masuk.

Dia meraih ponselnya. Ya, aku benar. Ada panggilan masuk, terlihat dari icon telpon yang muncul di layar ponselnya.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang