XI

9.6K 666 2
                                    

Dok! Dok! Dok!

Beberapa orang mengetuk jendela mobil kak Raihan dari luar. Beberapa pria dewasa, mungkin ada tiga sampai empat orang yang kulihat.

"Hey, keluar!" Salah satu dari mereka berteriak sambil terus mengetuk jendela mobil dengan keras.

"K-kak" Tangisku semakin menjadi-jadi. Aisya benar-benar takut, ibu!

"Tenanglah, jangan menangis" Wajahnya semakin terlihat khawatir melihatku menangis.

Dia merapikan lembaran-lembaran tissu dengan bercak darah yang berserakan. Memungutinya satu per satu lalu memasukkan dalam kantong kresek putih menjadi satu. Dia membuka pintu mobilnya. Turun menghampiri beberapa orang yang berada di luar. Dia begitu terlihat santai tapi tetap dengan pembawaan tegasnya.

"Ada apa ya, Pak?" Kudengar dia bertanya pada bapak-bapak berbaju coklat tua di depannya.

"Ada apa, ada apa! Penampilan boleh sok alim. Bersarung dan berpeci, tapi kok kelakuannya kayak gini! Di sini memang sepi, tapi jangan buat tempat ini menjadi tempat hina dengan berbuat mesum di sini!" Suara bapak-bapak itu terdengar keras dengan nada tinggi.

"Ma-maaf maksud bapak bagaimana? Saya tidak berbuat mesum, Pak. Kebetulan ban belakang mobil saya tiba-tiba bocor, kalau tidak percaya silahkan Bapak cek! Dan mengenai mengapa saya di dalam mobil bersama seorang wanita, i-itu karena kaki teman saya terluka ... Dan saya mencoba membantu membersihkan lukanya. Saya mohon jangan salah paham dulu!" Kak Raihan mencoba menjelaskan pada lawan bicaranya dengan tegas tanpa rasa takut sedikitpun. Pantas saja jabatan ketua BEM tersemat padanya.

"Halaaah! Alasan tok iku! Mana ada maling ngaku, kalau ada penjara penuh!" teriak bapak-bapak berkaos merah memanasi teman-temannya.

Salah satu dari bapak-bapak yang berada di luar membuka pintu bagian tengah mobil, tempatku duduk. Melihatku berselonjor kaki di hadapannya dengan tatapan yang sulit di gambarkan. Seperti tatapan jijik dan tatapan menghina. Ku tarik kakiku hingga seperti posisi duduk biasanya, walau rasa nyeri menyerang seluruh bagian kaki.

"Duh Gusti! Ternyata sama anaknya pak Shidiq toh! Kelihatannya tok alim, ehh lah kok kelakuannya kayak gini! Kemana-mana berkerudung dan berjubah, ternyata cuma kedok!" Bapak berperut buncit itu mulai menyangkut pautkan keluargaku. Kutatap kak Raihan dengan mataku yang sudah tak lagi bisa menahan air mata. Kak Raihan terlihat sejenak memejamkan mata dan menarik napas panjang. Wajahnya juga nampak memerah, seperti sedang menahan amarah.

"Jika bapak-bapak tidak menerima penjelasan saya, setidaknya bapak-bapak jangan berasumsi dengan opini-opini yang menimbulkan fitnah. Apalagi menyangkut pautkan keluarga. Padahal bapak-bapak tidak tau kebenarannya." Kali ini suara kak Raihan terdengar meninggi.

"Halaah, wes gak usah kebanyakan ngomong! Kita arak saja ke rumah pak RW. Biar diliatin orang sedesa, sekalian malu!" teriak mereka sambil menarik paksa tanganku. Dua bapak-bapak yang lain mencekam kuat kedua lengan kak Raihan. Dia terlihat pasrah dan sesekali menundukkan kepala seperti merasa bersalah.

Aku mulai berjalan tertatih-tatih. Merasakan betapa terjalnya jalanan ini tanpa alas kaki, belum lagi menahan nyeri merasakan batu-batu menusuk kuat lukaku. Kupejamkan mata dan kugigit bibir bawahku menahan sakit. Jangan tanyakan apa aku menangis? Lihatlah! Bahkan bagian depan jilbab segi empatku hampir basah seperti terguyur gerimis.

"Ini pakailah! Setidaknya sedikit meringankan beban rasa bersalahku dengan tidak memperparah lukamu." Diansurkan sandal Eiger hitamnya di depan kakiku. Jika kakiku tidak benar-benar sakit, mungkin takkan kuterima bantuan sandalnya. Bukan karena apa, batu di jalan ini begitu terjal. Perpaduan antara rusaknya aspal yang tak kunjung di perbaiki dan batu-batu kecil dari pinggir jalan yang digunakan menutup lubang jalanan. Aku yakin kaki kak Raihan tidak terbiasa berjalan tanpa alas kaki, tak seperti orang desa sepertiku.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang