XVII

10.4K 687 17
                                    

"Nduk ... " suara ibu Nyai di sebrang sana memotong omelan gak jelasku.

"N-njeh" jangan salahkan kegagapan suaraku! Bagaimana tidak gagap, saat kau dengan semangatnya melontarkan omelan dalam telpon dan ternyata seorang bu Nyai yang tengah mendengarnya di sebrang sana.

"Ada apa, Nduk?"

"M-mboten, Bu Nyai. Saya kira yang nelpon tadi k-kak Raihan. Aduh, ngapunten." terangku dengan menepuk pelan dahi, yang ku yakin lawan bicara di telpon ini tidak melihatnya.

"Owalah, apa Raihan terus menganggumu, Nduk? Biar nanti tak marahi dia! Anak itu kok cari masalah saja!" omel beliau.

Terdengar samar suara kak Raihan yang sedang membela diri. Mungkin pria menyebalkan itu sedang duduk di sebelah bu Nyai. Menguping pembicaraan kami? Dasar!

"M-mboten, Bu. Tadi kak Raihan cuma mau ngajak ketemu" jawabku jujur. Ya, memang dia mau ngajak ketemu kan? Dan, aku menolaknya dengan berbagai alasan konyol.

"Oh iya, itu tadi tak suruh, Nduk! Bagaimana kamu bisa kan, Nduk?" pinta beliau. Suara yang penuh dengan kasih sayang itu membuatku tak kuasa memberi penolakan.

"Be-besok sa-saya ngajar, Bu." ingatkan! Aku sedang tidak berbohong! Besok memang hari sabtu, dan hari itu memang aku harus ngajar ekstra kulikuler baca Al-quran di pagi hari seperti biasanya.

"Ngajarnya jam berapa toh, Nduk?"

"Meniko jam setengah tujuh sampai jam setengah delapanan biasanya, Bu." jawabku jujur sejujur jujurnya.

Jika tadi saat kak Raihan yang menelpon aku bisa mencari alasan-alasan lain sebagai penolakan. Tetapi untuk ibu Nyai, aku tak bisa berbohong padanya. Sungguh malangnya diriku, dan aku rasa itupun salah satu cara licik kak Raihan dengan memberikan telponnya pada bu Nyai, supaya tidak ada penolakan konyol lagi dariku. Benar-benar pria menyebalkan! Lihatlah pasti dia sedang tersenyum menang di sebrang sana!

"Oh ya sudah kalau gitu ketemunya habis ngajar saja, jam delapanan ya, Nduk." putus beliau.

"Eh, e-enggeh"

Dengarlah! Pria menyebalkan itu terdengar berteriak 'Yes' hingga sedikit terdengar di ponselku. Tak jauh seperti anak kecil yang senang di izinkan main lumpur di tengah rintik hujan.

Huh! Dia curang!

"Ya wes, biar besok di jemput. Di tunggu di rumah apa kamu tunggu di sekolahan?"

"Be-besok, di rumah mawon. Kebetulan sekolahnya mboten jauh dari rumah." pilihku.

Gawat kalau di jemput di sekolah, nanti kalau ada guru-guru lain yang lihat, bisa dipastikan esok harinya aku takkan terhindar dari ribuan pertanyaan ala-ala wartawan di tv, oleh ibu-ibu guru comel itu. capek pasti. Mencegah lebih baik daripada mempersiapkan jawaban tepat yang meyakinkan.

"Oh ya wes kalau gitu."

"Njeh"

"Udah tak matikan telponnya ya, Nduk? Apa kamu mau ngomong dulu sama yang punya hape?" goda beliau.

"M-mboten kersane pun, Bu." suaraku terdengar jelas, padat, dan tegas.

Sebut saja ini penolakan mentah-mentah. Entah, walau hanya berbicara melalui telpon, jantung dan hatiku juga berlaku norak seperti dosis norak saat bertemu langsung. Aku memang tidak terbiasa berbicara dengan seorang pria, walaupun dalam telpon. Hampir tidak pernah, kecuali pria dari keluargaku. Dulu pernah, dengan shariar. Lupakan.

"Aisya gak mau bicara sama kamu, Leh!" terdengar beliau tengah menggoda putranya dengan di sertai kikikan tawa lembut. "Ya wes, Nduk. Besok jangan lupa ya?" ingat beliau padaku.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang