III

13.4K 787 4
                                    

"Bu, Aisya berangkat ke kampus dulu ya," pamitku sambil membenahi hijab biru muda yang membingkai indah rambut panjangku.

"Niatnya di toto,Nduk. Niat cari ilmu menghilangkan kebodohan di paringi ilmu manfaat." kata-kata itu menjadi kata khas hampir setiap pagi sebelum berangkat kuliah. Memang awalnya dulu, niatku melanjutkan kuliah hanya karena rasa kecewaku akan ibu Shahriar yang memandang sebelah mata seorang gadis yang tidak berkuliah, rasanya terlalu sakit. Setiap ibu mengingatkan ku memperbarui niat, rasa menyesal selalu menari-nari di pikiran. Ahh ibu, bahkan hal sekecil apapun ibu seteliti itu.

"Siap Ibu ratu," godaku, sambil mengecup punggung tangan-nya

"Assalamu 'alaikum" lanjutku, mengucapkan salam.

"Wa'alaikum salam. Hati-hati kalau di jalan Nduk, jangan begejekan."

"Nggeh," jawabku sedikit berteriak.

***

Beginilah aku setiap hari, berjalan dari jalan kecil depan rumah menuju jalan utama di ujung sana, karena kendaraan umum hanya lewat jalan-jalan utama saja, tidak melewati jalan desa seperti jalan di depan rumahku.

"Heh Buk, denger gak kemarin si Aisya, anaknya Bu Rohmah itu katanya dilamar teman kampusnya, anak e kelihatannya ganteng gitu, tapi Aisya-nya gak mau. Ihh, itu si Aisya terlalu pilih-pilih, mau milih yang kayak gimana lagi sih tuh anak, padahal udah untung-untungan ada yang mau ngelamar gadis yang pernah gagal lamaran, ya kan bu? lumayan kan kali aja bisa nunut biaya hidup." terdengar sayup-sayup segerombolan wanita separuh baya yang duduk di teras salah satu warga, menyebut namaku. Nyeri. Ingin rasanya kuhampiri segerombol ibu-ibu rumpi itu, menyiramnya dengan se-ember air biar pikiran dan hati mereka dingin seketika. Memang benar, kebanyakkan seorang manusia cenderung lebih tertarik mendalami cela orang lain daripada menyelami cela dirinya sendiri. Maka wajar bila teras rumah dengan segorombolan ibu-ibu rumpi lebih menarik dibanding ketentraman masjid megah dengan ibu-ibu ngajinya, bagi sebagian orang.

Kutarik nafasku sedikit dalam, melanjutkan langkah kaki yang sedikit goyah karena amarah. Tenang Aisya! Jika mereka menggunjingmu itu bukanlah urusanmu, itu urusan mereka dengan Tuhan-nya. Batinku mencoba menasehati jiwanya sendiri.

"Monggo," sapaku sembari memberikan senyuman terbaik. Pencitraan? Bukan! Hanya menunjukkan sedikit pesona kebaikkan.

"Oh iya...,nak, mau berangkat kuliah ya?" tanya mereka, dengan wajah melongo, kaget, atau juga salah tingkahnya mereka karena ketahuan menggunjing di depanku. Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi luar biasanya ibu-ibu berdaster itu. Mereka dengan menggebu-gebunya membicarakan aib orang lain saat tidak ada orangnya, giliran orangnya sudah di depan mata, ehh! sikapnya berubah 180 derajat, selalu seperti itu. Andai kesopanan tak di tanamkan ibu sejak dini, mungkin saja sudah ku jebret dengan kamera ponselku wajah-wajah menarik layaknya para model dengan pose canditnya. Oh! Tetanggaku yang budiman.

Aduh nyonya! sebelum kau bertindak terlalu jauh layaknya Tuhan, alangkah baiknya kau perbaiki terlebih dahulu dirimu sebagai hamba Tuhan yang baik dan benar, bukankah begitu, Nyonya?

***

Angin semilir di angkutan umum berwarna coklat memudar ini membuat mataku sayup-sayup ingin memejamkan mata, kalau saja kampus tempatku belajar tidak terlihat didepan sana.

"Kiri, pak" ucapku pada pak sopir tua yang berada di balik kemudinya, lalu turun sambil mengansurkan uang pecahan lima ribuan.

Kakiku melangkah menuju koridor kampus. Berhenti sejenak melihat papan pengumuman barangkali ada informasi penting yang terlewat olehku.

"Heh," teriakan dan tepukannya di bahuku sedikit mengagetkan.

"Ya Allah ya Robbi, bisa tidak kamu tidak mengagetkanku seperti itu. Kalau setiap pagi kau bertingkah seperti itu, bisa mati muda aku, Nim" omelku. Hanim hanya nyengir tanpa dosa. Menyebalkan sekali.

"Amit amit, Buk," sambil mengetuk-ketuk jidatnya tiga kali, entah apa maksudnya. "Lagian itu muka kenapa anyep gitu sih Buk?" tanyanya menelisik tajam wajahku.

"Gak papa kok, cuma tadi sedikit kesandung angin di jalan." jawabku asal.

"Kesandung angin?" dahinya berkerut memikirkan jawaban asalku, sambil menggaruk tengkuk leher belakangnya yang tertutup hijab. Dia selalu seperti itu, serius dalam hal yang sebenarnya hanya lelucon dan melucu dalam hal yang seharusnya serius. Benar-benar cocok sebagai sahabat pengobat galau.

***

"Eh Nim, ngomong-ngomong kita sudah lama ya gak ke kota. Kalau diingat-ingat kita terakhir kali ke kota pas acara Majlis Akbar." ingatku di tengah waktu istirahat di kantin kampus.

Dulu pergi ke kota adalah hal yang sering kami lakukan. Kami mengikuti sebuah Majlis yang sama di kota, pada awalnya hanya aku sendirian lalu entah badai apa yang menerpa seorang Hanim yang notabenya gadis millenial dengan ketergantungannya akan teknologi tiba-tiba tertarik menghadiri Majlis. Saat kutanya alasannya selalu 'Aku mau nemenin kamu Sya, masak cantik-cantik naik angkutan umum sendirian? Gak ngeri kamu, Sya! kalau nanti di culik?' atau 'Aku penasaran aja, Sya gimana sih suasana Majlis yang dihadiri jama'ah yang hampir dari seluruh penjuru Nusantara, bahkan katamu ada juga jama'ah yang dari Malaysia, Singapura, dan Brunei darussalam. Kali aja ada satu jama'ah ganteng yang single tertarik sama pesonaku.' Selalu seperti itu. Gila kan!

"Iya juga ya, Sya. Terakhir itu..., yang kamu kesandung kakinya bapak-bapak tidur di gang jalan pulang setelah acara Majlis malam, itu bukan sih?" ceritanya dengan tawa terbahak-bahak tanpa henti.

Ya, aku ingat. Malam itu saat akan pulang kami melewati gang keluar dari majlis yang sedikit sempit. Bayangkan saja, gang sesempit itu di isi dengan banyak orang yang berdesak-desakan untuk keluar, pengap pasti, belum lagi banyak jama'ah yang tidur sembarangan di area Majlis. Ya, tidur di sembarang tempat, karena memang acara Haul Akbar terbagi dua sesi, sesi malam dan sesi pagi di esok harinya. Jadi wajar bagi jama'ah yang dari luar daerah memilih tidur seadanya di sekitar Majlis supaya bisa hadir di acara esok hari tanpa riwa-riwi dari daerahnya lagi. Sebenarnya panitia sudah menyiapkan tempat untuk para jama'ah beristirahat, berhubung terlalu banyaknya jama'ah maka keterbatasan tempat selalu terjadi. Dan entah mengapa, penerangan gang saat itu tiba-tiba padam. Dengan suasana yang pengap karena berdesak-desakan, secara tidak sengaja kakiku tersandung sesuatu, setelah kulihat ternyata kaki seorang manusia. Alamak! Kaget bukan kepalang saat orang yang kakinya tersandung olehku, langsung bangun dari tidurnya dengan gerakan yang sangat cepat. Aku hanya bisa minta maaf karena dengan tega mengganggu tidur nyenyaknya. Wajah bapak separuh baya itu terlihat kaget bercampur ekspresi khas bangun tidur. Tak tega. Kata Hanim, mungkin rasanya seperti baru terpejam dalam tidur lalu mimpi kepleset. Dasar gadis konyol.

"Permisi, boleh saya duduk di sini, dua Nona cantik?" seraya menggeser kursi kosong sebelahku.

Aku dan Hanim menengada secara bersamaan, menghentikan tawa sisa cerita konyol majlisan. Mengabaikan pula semangkuk bakso yang mengiurkan di hadapan kami. Memastikan bahwa suara pria itu...,benar saja! pria berkemeja biru dongker dengan lengan terlipat rapi di depan kami ini adalah ketua BEM yang ketampanan-nya tingkat dewa menurut sebagian mahasiswi. Siapa lagi kalau bukan Raihan Albirruni.

Aish, pria ini. Hatinya tak sakitkah! saat tertolak olehku? Padahal baru kemarin, baru kemarin! Mungkin karena memang dia hanya main-main saja melamarku di depan bapak. Aku rasa memang begitu.

***

Terkadang hidup memang perlu sesuatu yang berkedok "Nasihat" untuk mengeluarkan api-api penunjang semangat. Be positive thinking, Nona!

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang