XXVII

11.3K 724 86
                                    

Dua jam lebih kami menghabiskan waktu di pasar. Membeli segalanya, mulai dari segala macam kebutuhan dapur, membeli beberapa jajanan tradisional, atau pun keluar masuk toko pakaian hanya sekedar melihat-lihat tanpa membeli. Jangan salahkan! Itu salah satu kelebihan perempuan, tak mengenal capek jika berurusan dengan pasar. Benar-benar kelebihan dari sang Maha kuasa, kurasa.

Menghabiskan waktu sebegitu panjangnya di dalam pasar tidak terlalu buruk, setidaknya sedikit mengalihkan rindu yang semakin menjajah dengan kurang ajar.

"Ada yang ingin kamu beli lagi, Sya?" tanya Ning Awa sambil terus berjalan dengan menenteng beberapa kantong kresek bermacam-macam isi.

"Apa ya Ning ... Mboten enten sepertinya" ingatku.

Sepertinya memang sudah tidak ada lagi yang di beli, melihat betapa banyaknya kantong kresek di tangan.

"Oh ya sudah, kalau gitu kita langsung pulang aja, apa gimana?"

"Sak kerso pun, Ning" Aku selalu seperti ini, menjadi penganut jawaban 'Terserah' sebagai senjata pamungkas.

"Makan nasi pecel dulu, mau?" tawarnya sambil menata beberapa kantong kresek di motor yang tadi kita naiki.

Ya, Ning Awa mengajakku ke pasar dengan menaiki motor. Awalnya tadi aku sempat tak percaya, lalu begitu mengingat kata Kak Raihan bahwa Ning Awa dulu adalah sosok yang begejekan. Maka tak heran jika hanya sekedar ke pasar dengan menaiki motor. Apalagi mengingat betapa lihainya Ning Awa mengendarai motornya, hampir mirip si mamang Rossi, benar-benar membuatku sedikit mengeratkan pegangan di body motor.

"Ayo, Sya!" ajak Ning Awa yang kini sudah menaiki motornya. Hingga sarung batik yang di kenakannya sedikit menyingkap, tapi tenang saja! Ning Awa selalu memakai celana panjang sebagai perangkapnya. Dia tak seteledor itu.

"Loh warung pecelnya bukan di pasar ini, Ning?" tanyaku sedikit bingung.

"Ora, Sya" jawabnya dengan tawa ringan.

"Owalah, tak kira masih di pasar sini, Ning"

"Enggak, kita ke warung pecel langganan saja"

"Oh nggeh"

Warung pecel langganan keluarga Kak Raihan, berada di barat perempatan jalan lima ratus meter sebelum pasar tradisional tempat kami belanja tadi. Aku pernah hanya sekali di ajak Kak Raihan mampir ke warung pecel sederhana yang letaknya di pinggir jalan ini. Warung sederhana yang hampir setiap harinya penuh dengan pembeli, apalagi di pagi hari seperti ini.

Setelah puas makan seporsi pecel lengkap dengan berbagai macam lauk yang menambah selera makan menjadi lebih gila dari biasanya, Ning Awa langsung Mengarahkan motornya kembali pulang. Tentu saja dengan gaya mengendarainya yang seperti kataku tadi, layaknya ... Si mamang Valentino Rossi.

***

"Maafkan ibu ya, Nduk" lirih ibu mertua mengucap kata maaf, entah untuk apa.

Kuhentikan kegiatanku memotong sayur-sayuran beralaskan telenan kayu ini. Menatap ibu yang tengah mengaduk masakan di samping Ning Awa.

"Pripun?" tanyaku bingung.

"Ibu minta maaf karena sudah memaksa Raihan untuk jemput mase, kamu jadi di tinggal Raihan ..."

Wajah ibu terlihat sendu, seperti mengungkapkan penyesalan yang amat dalam. Padahal Kak Raihan adalah putranya, dan beliau berhak atasnya.

"Mboten Bu, saestu. Aisya tidak apa-apa,"

Aku tidak berbohong, aku tidak apa-apa. Untuk masalah merindu, adakah yang lebih menyiksa dari seorang ibu yang merindukan anaknya? Bukan sekedar hitungan hari, bukan sekedar hitungan bulan, bahkan rindu ibu sudah bertahun-tahun. Lalu apalah rinduku, yang hanya beberapa hari tak bertemu, tak ada apa-apanya. Seujung kuku jari kelingking-pun tidak ada.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang