VIII

10K 697 18
                                    

"Mbak Izzah, ini tolong mbak-mbaknya di tunjukkan mushollanya. Ohh ya, mbak-mbak sing masak suruh nyiapkan daharan di ndalem" perintah beliau pada santri putri berkaca mata yang menunduk ta'dzim di sampingku.

"Njeh, Buk. Monggo, Mbak ikut saya" ajak mbak Izzah.

Kugandeng tangan Hanim mengikuti mbak Izzah. Menuju ruangan tengah yang luas dan terlihat mewah, di tengahnya terdapat jejeran shofa besar nan empuk berwarna coklat susu. Tepat di atas shofa, tergantung lampu hias besar dengan pernak-pernik seperti berlian-berlian besar yang berkilauan. Bergeser sedikit ke arah dinding kiri shofa, terdapat foto keluarga lengkap yang terbingkai indah dalam pigora berwarna keemasan. Dan juga beberapa foto yang berderet rapi di sebelahnya. Di ujung sebelah kanan terdapat tangga menuju lantai dua yang indah dengan pagar pegangan tangan yang terbuat dari kayu jati yang di lapisi cat sehingga warnanya menjadi coklat tua, tetap indah tak menghalangi serat-serat alami yang tergambar dalam kayu. Di depan sana, terdapat jendela kaca besar dan tinggi yang tertutupi oleh gorden berwarna coklat susu yang tergerai hingga menyentuh lantai.

Rumah yang tampak sederhana dari luar dan begitu indah dari dalam. Batinku berdecak kagum.

***

Santri putri berpipi menggemaskan itu mengarahkan kami menuju sebuah pintu di sebelah dapur bergaya minimalis, yang menghubungkan antara ruang belakang dan sepetak taman buatan yang menyejukkan. Di kelilingi tembok tinggi yang di ukir sedemikian rupa sehingga terkesan seperti tebing batu alam yang mengalirkan air, persis seperti air terjun mini. Di bawahnya terdapat segerombolan ikan-ikan hias dengan berbagai warna. Di sekeliling kolam tertata beberapa rumpun bunga mawar yang bermekaran. Indah, benar-benar tertata indah.

"Monggo, Mbak. Itu kamar mandinya" ucap Mbak Izzah sambil menunjuk dua kamar mandi di sebelah kanan pintu masuk.

"Mushollanya?" tanyaku.

"Itu mushollanya, Mbak" mbak Izzah menunjuk dengan sopan menggunakan ibu jarinya, sebuah bangunan yang ku kira sebuah pendopo. Bangunan yang bernuansa tradisional dengan pilar-pilar kayu jati dengan diameter kira-kira 30 cm di setiap sudut-sudutnya. Susunan kayu yang membentuk sebuah pagar menjadi batas pinggiran yang indah. Atapnya seperti atap rumah joglo dengan susunan genting nan rapi. Di dalam musholla terlihat sebuah lemari kaca berukuran sedang yang berisi beberapa kitab dan peralatan sholat. Terlihat jelas, sebab bangunan itu tak tersekat oleh tembok.

***

Sore itu, suasananya sedikit mendung sehingga jam 5 terasa sudah begitu petang. Aku dan Hanim segera mengambil wudhu dan melaksanakan sholat.

Selesai sholat, kulihat Mbak izzah masih menunggu kami di sudut musholla. Kuhampiri dia bersama dengan Hanim.

"Mbak Izzah mondok di sini sudah berapa tahun?" tanyaku membuka obrolan.

"Masih sepuluh tahun, Mbak" jawabnya sambil tersenyum.

"Waw, sepuluh tahun dia kata masih, Sya" cerocos Hanim, "emang rencananya berapa tahun lagi, Mbak. Apa gak pingin boyong gitu?" lanjut Hanim.

"Boyongnya kalau nikah aja" candanya diiringi tawa lembut.

"Peraturan dari pondok gitu ya, Mbak?" tanyaku penasaran. Gila saja! Kalau itu peraturannya. Si mbak Izzah ini aja udah 10 tahun mondok dan belum boyong. Bisa di bayangkan berapa tahun lagi dia di sini jika jodohnya masih nun jauh di sana, bisa-bisa 15 tahun baru boyong. Keburu tua dong! Pikirku konyol.

"Oh tidak, Mbak. Ini kemauan saya sendiri" jelasnya dengan kikikan tawanya.

"Syukurlah, aku kirain peraturannya" Hanim menghembuskan napas lega di ikuti tawa pecah kita bersamaan.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang