I

29.4K 1.1K 27
                                    

"Gimana nduk?" bapak memandangku mengharap jawaban.

"Iya Pak, Aisya mau" jawabku lirih merunduk malu.

Shahriar, lelaki yang duduk ta'dzim ini melamarku di hadapan bapak. Aku tak tau dia akan melamarku secepat ini, seingatku baru sebulan ini dia mengkontakku kembali setelah beberapa tahun tak bersua. Kami hanya sesekali bertemu saat reuni alumni pondok pesantren dan itu pun kami tak saling sapa, Dia kakak angkatanku, wajar jika tak begitu mengenal satu sama lain. Hingga Haul maulid kemarin, entah darimana dia tau nomer ponselku dan intens berkabar. Tanpa angin tanpa hujan Dia bilang akan berkunjung ke kediamanku yang sederhana ini, pikirku hanya sekedar berkunjung biasa. Namun yang kutemui saat ini...Dia melamarku seorang diri, dihadapan Bapak dan Ibu.

Bapak dan Ibu terlihat begitu bahagia. Sejauh ini, Shahriar memang sosok yang sempurna. Di usianya yang hanya terpaut 3 atau 4 tahun denganku, Dia sudah menyelesaikan studi sarjananya dan saat ini Dia sedang fokus pada thesisnya. Tak seperti diriku yang tak mengampuh pendidikan tinggi sedikitpun. Dia putra dari keluarga yang berada, dan bernasab baik. Namun begitu, dia rela merantau meninggalkan segalanya demi pendidikan di kota besar. Bahkan di sela-sela studinya dia juga mengajar di sebuah pesantren yang masih disekitar kampus tempat ia belajar. Hampir sempurna, bukan?

"Sudah bilang orang tuamu kalau kau mau menjalin keseriusan dengan Aisya, nak?" bapak bertanya penuh hati-hati.

"Belum Pak, sepulang dari sini rencananya saya akan merundingkan dengan orang tua saya" jawabnya terdengar tegas.

"Oh ya sudah kalau begitu, nak"

Matahari sudah mendekati ufuk barat. Kulihat dia dan motornya semakin jauh meninggalkan halaman rumahku. Senyumku merekah tanpa sadar. Aku begitu beruntung. Pikirku.

***

'Bagaimana, Kang?' kukirim pesan singkat melalui whatsapp.

'Umi belum merestui, Sya'

'Kalau seandainya kita sudahi saja bagaimana, Kang?' tulisku disela-sela mata yang mulai mengembun dan memerah. Sakit.

'Jangan begitu, Sya. Aku pasti mampu membujuk Umi merestui hubungan kita. Tunggu sebentar lagi. Percayalah.' balasnya.

Ya, Ibunya tidak merestui hubungan kami. Menurut beliau sebuah bibit, bebet, dan bobot seorang calon istri anaknya amatlah penting. Sedangkan aku hanya seorang gadis lulusan Madrasah Aliyah, putri dari masyarakat biasa, dan tidak mempunyai keistimewaan apapun. Memang benar, di jaman ini siapa sih orang tua yang rela jika anaknya menikah dengan gadis seperti diriku ini. Gadis tanpa gelar.

Hingga waktu ini tiba, waktu dimana Shahriar kembali bertandang ke gubuk sederhanaku ini setelah 3 purnama terlewati dari kunjungannya pertama kali. Waktu yang sudah kutebak akan terjadi. Waktu yang menakutkan. Waktu yang menyakitkan. Waktu yang jika mampu, aku ingin men-skip saja seperti di instagram story.

"Nyuwun agungipun pangapunten Pak, Buk," Ia mengawalinya dengan sebuah permintaan maaf yang terdengar parau.

"Umi saya tidak merestui ini..., Saya sudah berulang kali mencoba membujuk beliau dengan berbagai cara, tapi...," lanjutnya dengan wajah tertunduk. Wajahnya terlihat pucat.

"Iya nak, restu seorang Ibu memang sangat penting. Seharusnya kamu rundingkan dulu sebelum bergerak sejauh ini" Bapak menepuk bahunya pelan. Kecewa pasti, terlihat jelas di antara guratan-guratan keriput di wajahnya. Begitupun dengan Ibu. Allahu robbi, aku tak sanggup melihat ini semua. Kupejamkan mata sejenak, tak terasa buliran-buliran air mata tak sanggup tertahankan.

Sunyi. Kami berempat terdiam di ruang tamu yang sempit ini. Bahkan tarikan nafas saja sepertinya enggan terdengar. Bapak dan ibu kembali ke ruang tengah, seakan-akan memahami jika aku dan Shahriar perlu bicara empat mata.

"Sya, maafkan aku. Sungguh. Bahkan aku sudah bilang pada umi jika kamu sedang proses wisuda penghafal Qur'an, aku juga sudah bilang jika kamu adalah guru mengaji di madrasah, tapi umi tetap teguh pendirian" dia menatapku pilu.

Aku diam

"Sya, aku tau kamu pasti marah, kecewa, atau bahkan ingin mencekik leherku. Tapi aku sungguh minta maaf. Maafkan aku, Sya" dia meneteskan air mata.

Aku diam

"Sya, bicaralah. Kau berhak marah. Tampar aku" dia mengarahkan pipinya kearahku.

Aku diam

"Bahkan saat menawar suatu barang, seseorang akan memastikan apakah isi dompetnya mendukung atau tidak. Lain kali pastikan isi dompetmu mendukung sebelum berani menawar sebuah barang, meskipun kau pikir itu terlihat murah." jelasku.

Kutinggalkan dia sendiri di ruang tamu. Ku kunci kamarku. Aku menangis dalam diam. Berharap hujan kan datang, setidaknya hujan dapat meredam suara tangisku dengan rintiknya yang membentur genting dan pepohonan.

***

Waktu dapat mengikis luka, namun Ia tak kan dapat mengobati luka.

Aku disini, bergelut dengan soal-soal ujian semester 4 di perguruan tinggi swasta di kotaku. Ya, aku memutuskan untuk meneruskan pendidikanku. Mendapatkan beasiswa dengan jalur hafidzah. Aku ingin membahagiakan orang tuaku dengan hal lain, seperti ini. Berharap senyum mereka akan menghiasi hari tuanya.

"Sya, kau lihat instastory-nya Kang Shahriar gak? Kayaknya dia sudah lamaran deh" terangnya. Dia Hanim, teman sebarisku di kelas. Tempatku mencurahkan curahan-curahan hatiku, baik yang bermutu ataupun tidak.

"Enggak" jawabku asal. Menutupi lukaku yang kembali tergores di tempat yang sama. Bagaimana tidak, Bahkan membayangkannya saja aku tak sanggup. Membayangkan genggamannya di sela jari wanita lain, di saat rindu dan lukaku belum terkikis sempurna. "Langsung pulang yuk" ajakku mengalihkan topik awal.

Hari itu kami langsung pulang menuju rumah masing-masing, lalu merebahkan diri mengistirahatkan dari penat pikiran dan..., hati.

***

Dua minggu berlalu setelah kabar lamaran Shahriar. Aku menyibukkan diri bersama Hanim di perpustakaan kampus. Mencari beberapa buku untuk referensi tugas-tugas yang menumpuk tak terbendung. Aku duduk di meja ditemani buku-buku yang tertata acak di samping kiriku, sebelum tiba-tiba Bapak menelfonku.

"Nduk, ini di rumah ada tamu. Kamu bisa pulang? Kamu sudah selesai kan materinya, Nduk?" suara bapak di sebrang sana.

"Iya ini Aisya sudah selesai kok kelasnya, emangnya tamunya siapa sih Pak?" tanyaku penasaran.

"Sudah pulang saja dulu, Bapak tunggu di rumah" akhirinya.

Ahhh paling juga dua adik perempuanku yang pulang dari pesantren. Terkadang mereka juga seiseng itu hanya untuk membuat sedikit kejutan.

Sesampainya di rumah, tak kutemui dua adik pengacau itu. Yang kutemui hanya..., eitss tunggu, Raihan? Ketua BEM di kampus, Datang ke rumahku? Ada perlu apa? Apa aku membuat masalah dengannya di kampus? Aish, bahkan menyebut namanya saja aku tak pernah.

"Duduklah, Nduk." perintah Bapak sambil menepuk-nepuk kursi sebelah beliau. Mengisyaratkan agar aku duduk di kursi tua sebelah bapak.

"Ini nak Raihan mau meminta izin untuk melamar kamu, Nduk. Bagaimana?" lanjut bapak.

"Kak Raihan? Melamar saya? Kok bisa? Bahkan Kakak saja tidak pernah mengenal saya walaupun sekedar bertegur sapa, Kakak sedang tidak main-main kan?, atau ada ospek lagi jika menuju semester 5? Jangan bilang ini hanya cara Kakak ngerjain saya seperti ospek pada biasanya?" cerocosku padanya. Kaget. Melongo. Ingatkan bahwa melongoku tak berkelas.

Raihan Albirruni, ketua BEM yang setiap waktu menjadi topik hangat para mahasiswi karena ketampanan-nya dan segudang prestasinya tiba-tiba melamar tanpa pernah berkenalan denganku. Mengingatkanku akan luka perihal Shahriar. Sama-sama melamar secara tiba-tiba. Lalu menabur luka tanpa cela.

Dan..., Bolehkan aku takut jika cerita yang lalu terulang kembali?

***

Kau boleh terluka; asal jangan terlalu lama bertahan dalam luka, Sya.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang