XIX

10.9K 734 37
                                    

Sudah hampir kurang lebih empat jam, aku duduk di pelaminan dengan sofa empuk nan megah ini. Memandang ratusan tamu yang turut berbahagia menyaksikan pernikahanku dengan kak Raihan. Sesekali juga berdiri untuk bersalaman pada mereka, yang ingin sekedar mengucapkan selamat ataupun melayani mereka foto dalam berbagai pose. Sedikit melelahkan, namun entah aku seperti tak sanggup mengeluh. Sebab ribuan senyum berkumpul menjadi satu dalam hari ini.

Lihatlah! Dua adik perempuanku, hafsah dan shofia. Dua gadis yang tengah beranjak dewasa itu terlihat begitu bahagia hari ini. Selain karena pernikahanku, mereka pasti juga bahagia karena liburan tambahan di luar libur resmi pesantren. Hal yang di dambakan seorang santri, saat salah satu keluarga mereka menikah, sebab saat itu pula seorang santri biasanya akan mudah mendapat izin untuk pulang. Menyenangkan, bukan?

Hanim? Dia berada di sana, di antara mbak-mbak pondok yang bertugas sebagai terima tamu. Dengan semangatnya, dia membagikan goodie bag yang berisi sovenir itu. Itung-itung cuci mata katanya, lihat para tamu yang kebanyakan para sanak keluarga besar kak Raihan dan teman abah Kyai. Gadis itu tetap konyol, memang.

"Ning!" sapa mbak perias mendekat menghampiriku.

"Njeh? Nopo mbak?" kak Raihan yang menjawab.

Perasaan mbak perias tadi bukan manggil kak Raihan deh! Kenapa malah pria ini yang jawab?

"Meniko, Gus. Sudah waktunya Ning Aisya ganti gaun. Monggo!"

"Oh! I-ya."

Pria itu beranjak dari duduknya kemudian mengulurkan tangannya padaku. Untuk apa? Bukankah, hanya aku yang harus ganti gaun? Bukankah dia tetap mengenakan jubah putihnya itu?

"Sya." dia membuyarkan lamunan singkatku. Tangannya tetap terulur di depanku, menunggu aku menyambut tangan kekar itu.

Sambut.

Tidak.

Sambut.

Tidak.

Sambut.

Tidak.

Jika aku tak menyambut tangannya. Apa kata para tamu nanti? Pasti mereka akan menatap kami dengan tatapan bingung atau sinis. Arrgh! Sebenarnya aku hanya gemetar setiap dia menyentuhku. Bukan karena aku mengabaikan pria yang kini menjadi suamiku ini. Upss! Suami? Ya, su-suami.

Kusambut tangannya, ragu. Hatiku berdesir. Tangannya begitu terasa hangat. Hangat atau memang tanganku saja yang terlalu dingin? Aku rasa tanganku yang terlalu dingin.

Kutatap kak Raihan, ada senyum di wajahnya. Dia mempererat genggamannya. Seakan-akan takut aku berlari menjauh darinya.

"Aku hanya bosan duduk di pelaminan." suaranya berbisik di telingaku, lembut.

Bosan katanya?

Kutatap kembali wajahnya. Dia menaikan alisnya di iringi senyum. Layaknya senyum kemenangan.

Huh! Dasar, pria seribu trik!

***

Mengganti gaun ini tak membutuhkan waktu lama, setidaknya tidak selama seperti gaun pertama. Hanya perlu mengganti gaun, mengganti hijab dan tatanan-nya, dan sedikit memoles kembali make up yang aku rasa tak memudar sedikitpun.

Gaun tosca dengan detail swarovsky ini begitu indah, cocok dengan hijab berwarna senada yang di lengkapi dengan mahkota kecil di atasnya. Ibu kak Raihan begitu mengistimewakan hari ini, segalanya dari terbaik dari yang terbaik. Aku bersyukur memiliki beliau, beribu-ribu syukur. Jauh dari gambaran mertua-mertua kejam di serial drama india. Ahh, maafkan diriku yang korban film-film bollywood.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang