XXV

10.8K 749 76
                                    

"Za, kamu sakit?" tanyanya. Menatap lekat diriku yang sibuk menata barang bawaannya untuk ke Yaman besok pagi.

Aku menggeleng. Hanya itu jawabanku saat ini.

"Wajahmu pucat, Za"

"Gak apa-apa kok." jawabku setengah menahan rasa yang sedikit menganggu dalam perut.

"Kamu yakin?" nada bicaranya mulai terdengar sedikit terselip nada khawatir.

"Enggeh" singkatku.

Dia beranjak dari shofa yang sejak tadi menjadi tempatnya membaca beberapa kitab kuning. Menghampiriku yang berdiri di samping ranjang menata beberapa baju dalam koper. Meraih pundakku, menekan dengan lembut mengarahkan diriku untuk duduk di tepian ranjang.

"Istirahatlah, jangan paksakan dirimu melakukan segalanya" raut mukanya benar-benar terlihat khawatir.

Aku hanya diam, seluruh tubuhku rasanya begitu lemas. Belum lagi, rasa yang sangat mengganggu di bagian perut. Aku sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah dalam kondisi selemas apapun, namun kali ini rasa ini seperti berkali-kali lipat menyerangku.

"Jangan pikirkan masalah ini, nanti biar aku sendiri yang menatanya, sekarang tidurlah!" Dia bereskan koper yang terbuka di atas ranjang berseprei putih ini. Menaruhnya kembali di sandarkan pada tembok pojok kamar.

Dia kembali duduk di atas shofa. Membuka kitab-kitabnya seraya beberapa kali menggumam lirih melafalkan isinya beserta makna dalam bahasa jawa. Menelisik kitabnya dengan serius, hingga keningnya sedikit berkerut. Pagi ini abah tindak ke Jawa Tengah, untuk itulah Kak Raihan diutus badali ngaji pagi yang biasanya di isi abah.

"Kutinggal ngisi ngaji dulu, Za" pamitnya.

Aku hanya mengangguk lemas hingga akhirnya terdengar suara pintu yang tertutup, dia telah pergi.

***

Aku masih terbaring di atas ranjang, lemas tak berdaya. Tak selera makan, hanya ingin berbaring Meluruskan punggung yang sedari tadi seakan-akan tengah diremuk-remuk.
Perut yang tak lagi kompromi, Seperti rasa diaduk dan diremas menjadi satu. Mencoba untuk memejamkan mata pun aku tak sanggup.

"Za, kamu gak papa kan?" tanyanya melihatku menahan sakit.

"Gak papa, Mas" jawabku masih dengan posisi yang sama, menahan sakit.

"Apa ke dokter saja?" tawarnya.

"Mboten usah" kupejamkan mata serta menggigit bibir bawah dengan tetap menahan sakit.

"Za?" Dia menghampiriku, mengelus kepalaku lembut. "Kita ke dokter ya?" lanjutnya.

"Mboten perlu, Mas" Aku semakin menggeliat, melengkuk kaki seperti tringgiling yang tengah terancam nyawanya.

"Za!"

Aku tak menjawab. Rasanya semakin sakit, hingga tak kuasa menahan air mata. Menangis lirih tanpa suara, merintih kesakitan. Kak Raihan duduk di sampingku dengan mimik wajah khawatirnya.

"Za, kita ke dokter, okey!" Suaranya sedikit meninggi, ada kekhawatiran yang tersimpan di dalamnya.

"Pun konyol Mas! gak ada orang yang pergi ke dokter karena haid"

"Haid?" Dia mengusap wajahnya sedikit kasar.

Aku mengiyakan.

"Apa se-mengerikan ini setiap bulannya?" telisiknya dengan suara khas orang sedang penasaran. Dia mencondong kearahku dengan wajahnya yang menggambarkan rasa heran tak terbendung, terlihat bagaimana keningnya berkerut dan satu alisnya terangkat sempurna.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang