XV

10K 626 10
                                    

"Ada apa? Kau sudah merindukan ku?" Dia menyeret kursi di depanku. Meletakkan dompet dan ponselnya di meja sembari menempatkan diri di kursi kayu itu.

Dia baru datang, setelah aku menunggu hampir lima belas menit lamanya. Menunggu di kafe sebelah jalan ini, ditemani secangkir cappucino dengan uap yang mengepul.

Aku hanya merundukkan kepala. Takut dia melihat betapa sembabnya mataku. Sembab, sebab cinta yang mengujiku tanpa ampun.

"Sya, ada apa. Kau menangis?" kali ini dengan suara lembutnya.

Aku masih merunduk, meneteskan air mata yang tak lagi sanggup tertahankan. Mungkin saat ini suara sesenggukan ku semakin terdengar di telinganya. Aku tak sanggup menahannya lagi dan lagi.

"Sya?"

Aku sejenak terdiam. Menghela napas panjang demi menguatkan hatiku mengatakan semuanya pada pria berkaos pendek hitam dengan sarung coklat susunya itu.

"Apa Kak Raihan mencintaiku?" tanyaku mengawali segalanya.

"Hah?" Wajahnya tampak sedikit kebingungan.

"Apa Kakak mencintaiku?" pertanyaanku ku ulang pelan.

"Apa sikapku padamu tak menjawab betapa gilanya cinta dalam diriku olehmu?"

Aku terdiam.

Dia pun terdiam. Beberapa menit waktu seakan sunyi seperti hanya ada suara angin yang menyampaikan salam-salam pada ummat lainnya.

"Menikahlah dengan Hanim, Kak!" suaraku memecah keheningan.

"Hah?" Dia mengernyitkan keningnya.

"Menikahlah dengan Hanim, Kak. Dia mencintaimu."

"Sya"

Aku hanya diam di tengah merunduknya kepalaku. Menatap kosong meja kafe bercat putih tulang ini.

"Aku mencintaimu dan kau menyuruhku menikah dengan Hanim? Apa tidak ada hal lebih konyol dari ini?" Dia berbicara dengan menatapku, sepertinya. Nada suaranya tenang, tak menampakkan ada kemarahan. Mungkin lebih terdengar seperti rasa kecewa dan sedikit kebingungan.

"Ta-tapi dia mencintaimu, Kak." Kumainkan ujung jilbab hitamku. Mengusir rasa takut dalam dada, rasa bersalah yang mendera, dan ... Entah rasa apa yang membuatku tak hentinya menitikkan air mata. Tidak! Aku tidak mencintainya, bukan? Mungkin hanya rasa takut akan menjalin sebuah hubungan. Itu saja! Tidak lebih.

"Ya, lalu?" dia meminta penjelasan.

"A-aku gak bisa menikah dengan Kakak, Hanim sahabatku a-aku gak bisa nyakiti dia, Kak." jelasku. Diiringi air mata dan sesenggukan yang tak lagi terbendung.

"Menikahlah dengan kang Rohman!" pinta konyolnya membuatku menahan sesenggukan atas tangisku.

Kutatap wajahnya, meminta penjelasan.

"Apa permintaanku terdengar konyol?" tanyanya.

Aku diam.

Bagaimana tidak terdengar konyol! Dia tiba-tiba memintaku menikah dengan kang Rohman. Memangnya apa hubunganku dengan kang Rohman? Aneh! Bukankah saat ini aku hanya membahas tentang dirinya, diriku, dan Hanim?

"Ya, ibaratnya begitu. Kau mencintaiku dan aku menyuruhmu menikah dengan kang Rohman hanya karena kang Rohman sahabatku. Hal yang konyol, bukan?" terangnya.

Dia terlihat sesekali memainkan cangkir kopi di depannya. Menikmati kepulan kopi dengan aroma khasnya.

"Kau tidak bisa memutuskan sesuatu yang besar seperti ini secara grasak-grusuk, apalagi menyangkut dua keluarga besar, keluargamu dan keluargaku. Hanya karena loyalitas atas nama persahabatan." Suaranya tegas tanpa terkesan menggurui.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang