XXIX

13.5K 824 89
                                    

Langit surabaya siang ini sedikit tak bersahabat. Angin berhembus kencang seiring dengan awan yang mulai menghitam. Suara riuh kendaraan yang beradu kecepatan demi harapan sang pengemudi agar tak terguyur hujan semakin menambah ketidak bersahabatan jalanan. Klakson-klakson teriak bersahutan, seakan-akan tengah berkompetisi mengadu kebolehan dalam teriakan. Menambah penampakkan sebuah suasana yang sedikit mencekam.

Aku di sini, di dalam mobil berperawakan tinggi ini ditemani Ning Awa yang tengah serius dengan ponselnya di sampingku. Tidak hanya berdua sebenarnya, ada Kang Rohman juga di balik kemudi sebelah sana.

Seperti yang dikatakan Kak Raihan kemarin di telpon. Ya, dia akan kembali ke tanah air sore ini. Dia benar-benar kembali, dengan misi yang berjalan sempurna. Menurut cerita Ning Awa yang kudengar tadi pagi, pria itu sudah berhasil meluluhkan hati Mas Hubaib untuk ikut pulang bersamanya.

Maka dari itu, aku dan Ning Awa sedang menuju bandara Juanda Surabaya saat ini. Bukan hanya dengan Ning Awa saja sebenarnya, ibu dan abah juga ikut menyambut dua putranya itu di bandara. Hanya saja ibu dan abah tidak berada dalam satu mobil yang sama denganku.

Aku suka raut wajah ibu hari ini. Kebahagiaan terukir jelas di wajah ayu beliau. Membayangkan akan segera bertemu dengan putra yang dirindukannya membuat senyum tak pernah padam menghias pagi harinya ini. Aku suka saat ibu bahagia.

***

Bandara Juanda Surabaya.

Kembali ke tempat ini dalam waktu yang berbeda. Mengantar dan menjemput. Melepas dan menyambut. Melihatnya pergi dan melihatnya kembali. Tempat air mata dan senyum merekah.

Ning Awa menggandengku berjalan menuju abah dan ibu yang sudah duduk di deretan kursi tunggu berwarna dongker di sebelah sana. Menghampiri dan duduk bergabung di samping mereka. Menunggu dua pria yang kembali dari negri para wali itu.

Tiga puluh menit berlalu.

Terlihat sosok yang selama ini memenuhi otakku itu berjalan kearah kami. Bersarung biru dongker dengan kaos putih yang dibalut jaket bomber berwarna senada dengan sarungnya. Tangan kiri yang menggeret kopernya dengan santai. Berjalan di sampingnya, seorang pria berjubah abu-abu yang menambah kegagahan tampilannya.

"Ibu kaleh Abah pripun kabarnya?"

Pria yang berjalan di samping Kak Raihan tadi mengecup tangan ibu dan abah secara bergantian dengan di iringi pertanyaan tentang kabar ibu dan abah.

Ibu tersenyum sambil mengusap ujung matanya yang mulai membasah. Lalu memeluk erat pria berpawakan gagah di depannya itu. Sangat erat, seperti enggan untuk melepasnya kembali.

"Ibu sama Abah baik-baik saja, Leh," ucap ibu di sela pelukannya.

"Awa, piye kabare?" tanya pria itu pada Ning Awa setelah benar-benar terlepas dari pelukan ibu.

"Ya, begini-begini saja.
Eh, Mas Hubaib agak hitaman ya kayak e?" cela Ning Awa dengan disertai cengiran tak berdosanya.

"Lah bagaimana gak hitam, lah wong di sana panasnya Masya Allah," terang pria itu dengan senyum.

Ning Awa tadi memanggilnya dengan panggilan 'Mas Hubaib' kah? Berarti pria yang sekarang berdiri di depan ibu itu adalah Mas Hubaib? Kakak sulung dari Kak Raihan?

Aku pikir sosok Mas Hubaib itu sosok dengan wajah yang matang, mengingat cerita ibu kalau Mas Hubaib itu sudah waktunya berkeluarga. Pun Kak Raihan pernah bercerita bahwa kakak sulungnya itu sudah hampir sepuluh tahun berada di Yaman. Jadi tak heran jika dalam bayanganku Mas Hubaib begitu matang dengan berewok di wajahnya. Tetapi hari ini, semua bayanganku itu terpatahkan. Sosok Mas Hubaib tidak semengerikan itu. Wajahnya tampan hampir mirip dengan Kak Raihan, kulitnya putih meskipun tadi Ning Awa menyebutnya lebih hitaman dari sebelumnya, juga tubuhnya tinggi dan tegap. Tidak kelihatan seperti pria yang berumur tiga puluh dua tahun. Masih tampan.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang