IV

12.5K 692 7
                                    

"Hello! Boleh aku duduk di sini?" dia kembali bertanya.

Aku dan Hanim terdiam. Tercengang, lebih tepatnya.

"Okey, kurasa diamnya kalian menandakan persetujuan." putusnya.

Dia duduk di kursi sebelah kiriku. Meletakkan ransel hitamnya di bawah kaki meja sebelah kanannya lalu melepas kamera Canon EOS R yang sedari tadi bergelayut manja di leher jenjangnya.

"Lanjutkan makanmu, jangan menatapku seolah-olah kau baru melihat pesona ketampananku," dengan percaya dirinya dia mengatakan itu! tanpa sekali pun menatap siapa yang dituju. Dia hanya menatap kamera, mengecek beberapa hasil jepretan di dalamnya. Sok keren. Memang keren, sebenarnya.

Kau lihat Hanim! Apa yang dilakukan gadis itu! Dia malah sibuk dengan ponselnya yang mengarah pada si ketua BEM songong ini. Ih, gadis itu...,mungkin dia sedang membuat Instastory atau jika tidak, dia sudah menayangkan siaran langsung di akun Instagramnya. Dasar Gadged Holic.

"Apa yang Kakak lakukan di sini?" tanyaku. Sedikit mengintimidasi.

"Sedang duduk dan mengecek kameraku, memangnya apa yang kau lihat selain itu?" jawabnya. Menyebalkan.

"Kakak kan bisa duduk di kursi lain, selain kursi tempatku dan Hanim duduk" cecarku.

Tau apa yang dia katakan?

"Aku rasa tidak ada peraturan di kantin ini seseorang harus duduk dimana. Dan aku rasa itu artinya bebas duduk dimana saja," Alisnya naik sebelah.

Astagfirulloh! Jika saja membunuh bukanlah suatu tindakan yang berakibat pidana..., sudah kubunuh pria di sebelahku ini dengan garpu bakso! Abaikan, perihal bisakah garpu bakso membunuh seseorang. Kesal.

"Kau mau makan bakso dengan sambal, atau sambal dengan bakso?" dia menatap mangkuk baksoku yang... .

Jiaahhh! Karena rasa kesalku pada pria ini, hingga tanpa sadar aku memasukan begitu banyak sambal pada semangkuk baksoku. Begitu banyak, warna kuahnya berubah menjadi orange. Aisya! Matilah kau!

Hanim menahan tawa hingga wajahnya menggelembung merah. Sedangkan pria itu...,tawanya sudah menggelegar memenuhi indra pendengaranku.

Akhirnya kuputuskan untuk memakan baso-nya saja, tentunya tanpa kuah. Bisa berdemo segala makhluk yang berada di perutku, jika tetap ku makan bakso itu dengan kuahnya. Tahan, Sya! Habiskan perlahan baksomu setelah itu pergilah menjauh. Otakku berkompromi.

"Ehm, sepertinya kalian perlu bicara empat mata. Biarkan aku pergi, okey?" Hanim mulai berdiri dari kursinya. Beranjak untuk pergi.

"Tetaplah di situ! Setidaknya kau bisa gantikan posisi setan," cela Raihan. Wajah pria itu tetap biasa saja. Tanpa ekspresi layaknya seorang teman yang sedang menggoda. Seserius itukah pria ini? Kontras dengan ukiran wajahnya yang hampir sempurna. Hidung mancung, rahang kokohnya, mata hitam pekat, dan juga alis hitam tebal alami yang hampir tertaut satu sama lain. Begitu indah. Tanpa pensil alis. Catat! Tanpa pensil alis.

Skakmat! Kena kau, Nim! Ingatkan bahwa di sampingku masih ada pria over percaya diri ini! Kalau tidak sudah kukeluarkan segala tenagaku menertawakan muka Hanim dengan bibir monyongnya. Benar-benar lucu.

"Kakak mau apa lagi sekarang? Bukankah perkataanku kemarin sudah menjelaskan segalanya?" ucapku. To the point.

"Kau lupa permohonan pertemananku sudah kau iyakan?" dia balas bertanya.

Yassalam! Kenapa kau bisa lupa secepat ini, Sya! Benar, pria ini sudah mengajakmu menjalin pertemanan lewat pesan kemarin malam, bukan? Ahh, kenapa aku bisa lupa! Malunya. Runtukku kesal.

Ingatkan kita sudah berteman. Hanya berteman.

***

"Sya, coba jelaskan apa maksud perkataanmu pada Kak Raihan tadi saat di kantin," Hanim melisik wajahku, dalam. Meminta penjelasan tentang obrolan sekilasku dengan pria songong berbaju dongker tadi. Aku lupa belum menceritakan perihal lamaran Kak Raihan yang kutolak. Belum sempat.

"Kemarin Kak Raihan melamarku, Nim." ceritaku.

"Terus?" Ia sedikit memajukan badannya. Antusias meminta kelanjutan ceritaku.

"Aku menolaknya, Nim"

"Kau gila ya, Sya? Sekeren Kak Raihan kau tolak mentah-mentah? Bahkan di luar sana banyak mahasiswi yang bermimpi dilamar ketua BEM terkece itu," Ia memutar bola matanya.

"Aku hanya takut kembali terluka, Nim. Bagaimana tidak, dia melamarku tanpa pernah satu kali pun bertegur sapa. Bahkan berkenalan saja rasanya tidak pernah. Lantas, bisakah kau menerima pinangan seorang pria, yang mungkin namamu saja ia tak tau?" jelasku membela diri.

"Kau ini, Sya. Kalau aku jadi kau, sudah langsung kujawab iya pinangannya." celanya. Di iringi tawa garing.

"Oh gadis konyolku, tinggi nian anganmu" godaku. Tawaku pecah.

Wajar jika reaksi Hanim se-lebay itu, mengingat betapa hampir sempurnanya sosok pria yang tadi duduk di kursi kantin bersamaku. Ketua BEM, tampan, postur tubuh profesional, prestasi? Semua mahasiswa tau prestasinya luar biasa, Jangan tanyakan berapa tropy yang mungkin berjajar rapi di rumahnya. Mungkin jari telunjukmu berpotensi kram saat mencoba menghitung semuanya. Apa dia kaya? Aku tak tau. Raihan punya bisnis kecil-kecilan di beberapa tempat. Begitu sih katanya, kata para Raihan Squad yang rata-rata anggotanya adalah mahasiswi pecinta Raihan garis keras. Termasuk Hanim, hanya saja Hanim masih masuk kategori garis tak begitu keras, lempeng. Hahaha.

Satu lagi yang membuat para Raihan Squad semakin tergila-gila pada pria berpostur altetis itu, dia tak pernah terlihat dekat dengan satu gadis manapun. Ya, kejombloannya yang lengkap dengan realita kehidupannya yang hampir sempurna itu pula yang membuat para penggemarnya berandai-andai untuk memilikinya.

Padahal di jaman yang semakin edan ini, cowok dengan keistimewaan yang seperti Raihan pasti sudah punya seorang kekasih, bahkan bisa lebih. Jika memang ada yang memilih lebih baik menjomblo daripada berpacaran, terkadang malah orang tuanya yang riweh sendiri karena anaknya tak pernah terlihat menggandeng seorang kekasih satu pun, malu sama tetangga katanya. Entahlah, jika dulu orang tua lebih malu ketika anaknya ketahuan berpacaran, di jaman ini malah kebalikannya. Mungkin mereka berfikir jika anaknya jomblo itu berarti anaknya tidak laku.

Ahh, mungkin memang dunia sudah terlalu tua, jamannya juga sudah terlampau gila.

"Kamu tadi ngapain ngarahin ponselmu ke Kak Raihan, Nim?" telisikku.

"Buat Instastory, Sya" Ia meringis. Menampakkan deretan giginya.

"Astagfirulloh, sudah kuduga" Kutepuk jidatku, pelan.

"Lah mubazir toh Sya, kapan lagi duduk sedekat itu sama kakak kece" elaknya.

"Tidak baik, Buk. Ingat jaga pandangan!" Ceramahku dengan nada ustadzah-ustadzah artis yang sering kulihat di TV.

"Tapi kan menyia-nyiakan sesuatu juga tidak baik, Buk" elaknya. Kali ini dengan tawa yang membuat perutnya sedikit kaku.

Benar-benar gadis terkonyol yang pernah ada, tentunya setelah Shoimah. Iya, Shoimah artis ibukota yang berasal dari Pati, Jawa Tengah itu. Dia konyol, bukan? Kurasa kekonyolan Hanim seperti Shoimah KW nomer 174, cukuplah untuk menggambarkan betapa konyolnya gadis yang berteman denganku bahkan sebelum kita berkuliah di tempat yang sama ini. Tapi aku suka kekonyolan Hanim, setidaknya dia mampu membuatku tertawa bahagia setelah kisah kelam yang menghampiriku dan meninggalkan luka.

Terima kasih, Nim. Sudah menjadi teman terbaikku, menjadi pendengar terbaik, dan pengunci rahasia dan janji-janjimu. Janjinya bukanlah seperti janji bocah kecil, yang bilang janji dan rahasia di hari ini, lalu esok hari ceritanya bukanlah rahasia lagi, bahkan sudah menyebar kemana-mana.

Sayangnya, kini bahkan orang dewasa juga seperti itu. Sebagian, sebagian besarnya.

***

Jika kau diminta menjadi pendengar; yang perlu kau lakukan hanya buka telingamu lebar-lebar lalu tutup mulutmu rapat-rapat.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang