XX

10.8K 730 29
                                    

"Aisya, tunggu!"

Kulihat dengan seksama sosok yang tengah menghentikan langkahku. Sosok pria berkemeja coklat tua menghalang di depanku. Menatapku pilu, raut wajah sedih tergambar jelas. Mata sayup yang berkaca-kaca, menimbun air mata yang sebenarnya tak lagi tertahankan.

"Kang Shahriar?" Kutatapnya lekat.

Dia merunduk. Sesekali memalingakan wajah mengusap air mata yang membasahi wajahnya.

"Kenapa? Kenapa harus Raihan?" dia menatapku meminta jawaban.

"Maksud Kang Shahriar?" jawabku bingung. Sungguh! Aku tak mengerti mengapa dia melontarkan pertanyaan seperti itu.

"Kenapa harus dengan Raihan? Saat aku benar-benar mencoba untuk melupakanmu, melupakan keinginanku yang hancur lebur untuk memilikimu. Kenapa harus Raihan? Orang terdekatku, yang membuatku semakin mudah menjumpai dirimu. Dan itu, membuatku lebih sulit melupakanmu, Sya." ungkapnya dengan kepala yang merunduk lemah.

Dia tak akan pernah tahu, bagaimana rasaku lebih hancur dari sekedar hancurnya sebuah pondasi caranya melupakanku. Dia tak akan pernah tahu, seberapa sembabnya mataku mengingat bagaimana caranya menanamkan kekecewaan di hatiku. Dia tak akan pernah tahu, seberapa besar kekuatanku untuk menghilangkan jejaknya di hatiku. Dia tak akan pernah tahu, dan akupun tak akan pernah memberi tahu apapun perihal dirinya untukku. Aku tak akan pernah memberi tahu.

"Kenapa, Sya?" Suaranya parau.

"Kang Shahriar bertanya kenapa? Sungguh?" suaraku sedikit meninggi.

Dia terdiam.

"Aisya juga tidak tau kenapa! Mungkin Allah sedang menghiburku dari kekecewaan yang pernah Kang Shariar tanamkan beberapa waktu yang lalu! Apa Kang Shahriar lupa, perihal rasa kecewa itu? Hingga membuatmu bertanya kenapa!" Aku memandangnya emosi. Membiarkan air mata membasahi sebagian pipiku. Entah untuk apa aku menangis di depannya. Mengulang tangisku di hari dia mendatangi rumahku kala itu.

Dia terdiam, sekali lagi.

"Jadi biarkan aku bahagia dengan apa yang Allah takdirkan saat ini." Aku beranjak, akan meninggalkannya sendiri.

"Lalu bagaimana denganku?" tanyanya. Membuat langkahku seketika terhenti.

Berhenti sejenak dalam posisi yang tak berubah. Mengatur napas yang sedari tadi sulit di hembuskan seperti biasanya. Ada rasa sakit di dalam sana. Rasa tertekan yang membuatku membalikkan badan kembali menghadap pada pria dengan jambang tipisnya itu.

"Apa aku pernah menanyakan hal yang sama saat Kang Shahriar meninggalkan diriku saat itu? Jawabannya adalah, Tidak! Jadi aku rasa kita impas dalam satu hal yang sama." Kutampakkan tarikan senyum sinis.

Dia memalingkan wajah sedihnya memandang beberapa orang yang tengah berlalu lalang. Seperti enggan terlihat mengenaskan di depanku. Dengan wajah memerah, hidung memerah khas orang yang tengah menangis, dan juga matanya yang sedikit sembab. Dia tak menatapku. Malu?

"Tapi, Sya ...,"

"Pulanglah! Jika saat ini surgaku sudah berada dalam genggaman kak Raihan, maka surga Kang Shahriar selamanya tetap di genggaman ibu Kang Shahriar. Pulanglah! Turuti apapun yang beliau inginkan" pintaku.

Lagi-lagi dia hanya terdiam. Seperti tengah meresapi setiap kata-kataku. Dia tampak begitu lemah, tanpa daya.

"Aku berharap semoga tidak ada wanita-wanita lain sepertiku, yang di tinggalkan saat menyimpan cinta pada harapan yang sebenarnya benar-benar telah musnah"

Kulangkahkan kembali kakiku, meninggalkannya. Menjauh, di iringi suara paraunya memanggil namaku.

"Sya!"

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang