XIV

9.8K 648 9
                                    

"Ahh, gadis konyol itu melupakan sesuatu rupanya" runtukku.

Kutemukan sebuah buku note bersampul gambar Notre Dame de Paris di balik bantal kamarku. Mungkin milik Hanim yang tertinggal saat dia menginap di rumahku kemarin. Ya, gadis konyol itu benar-benar banyak membantu dalam acara lamaran dadakan itu, bahkan dia tidak segan-segan membantu para ibu-ibu yang kewalahan mencuci piring-piring kotor di dapur.  Dia memang gadis aktif dan cekatan dibandingkan diriku. Hingga mungkin sangking lelahnya, dia memutuskan untuk bermalam di rumahku. Benar-benar teman terbaikku sejauh ini.

Kubuka buku kecil itu untuk memastikan siapakah pemiliknya. Barangkali milik dua adik perempuanku yang terselip setelah dibuat bahan mainan para krucil-krucil anak saudara yang membantu acara kemarin.

Kubuka perlahan buku berwarna coklat muda itu. Tidak ada tulisan nama dan satupun coretan di halaman pertama. Aku semakin penasaran, kubuka perlahan sekali lagi lembar lanjutan di belakangnya. Hanya ada tulisan tangan 'Wahai bukuku yang tak mampu bicara' yang terukir indah dan rapi, terkesan seperti judul. Judul yang sedikit lucu, setidaknya hingga membuatku sekilas membayangkan bagaimana jika sebuah buku bisa bicara, mengerikan bukan?

Dan sekali lagi, tak ada nama yang tertera di dalamnya.

Di halaman berikutnya. Tulisan rapi memenuhi kertas putih bergaris itu. Tunggu! Aku seperti mengenal tulisan rapi model seperti ini. Kuputuskan membacanya.

Wahai bukuku yang tak mampu bicara ...

Kau tau hari ini aku menemukan apa? Aku tak menemukan sebalok emas. Aku tak menemukan sebongkah permata zamrud yang kehijau-hijauan. Aku juga tak menemukan segebok uang seratus ribuan di jalanan. Aku hanya menemukan sebuah senyum yang lebih berharga di banding sebalok emas. Aku hanya menemukan sebuah senyum yang lebih berkilau dari sebongkah permata zamrud yang kehijau-hijauan. Aku hanya menemukan sebuah senyum yang lebih menggiurkan dari segebok uang seratus ribuan di jalanan.

Katakan saja aku gila, aku tak apa. Sebab, tergila-gila saat menemukan sebuah senyum lebih baik daripada tergila-gila karena berandai-andai menemukan sebalok emas, sebongkah permata zamrud, dan segebok uang seratus ribuan di jalanan.

Aku melihat senyumnya. Senyum yang sebenarnya tak sengaja terlihat oleh mataku hingga membuatku menolehnya sekali lagi. Tarikan bibir yang sempurna. Begitu pas dengan ukiran wajahnya yang begitu indah. Hidungnya seperti hidung keturunan arab yang tadi pagi kutemui di pemukiman sekitar makam mbah Sunan Ampel, mancung. Matanya indah, hitam pekat seperti sedang memakai lensa, tapi aku yakin dia tidak sedang memakai lensa yang merepotkan itu. Seperti sepaket dengan alis hitam tebal alaminya. Dia begitu melelahkan, melelahkan karena membuat leherku menoleh ke arahnya tanpa henti.

Wahai bukuku yang tak mampu bicara ...

Hampir satu jam aku memperhatikannya dengan sesekali mencuri pandang. Pria berbaju putih itu, eits! Hampir semua orang di sini mengenakan baju putih. Pria itu berjubah putih dengan peci putihnya yang sedikit di letakkan memundur hingga membuat anak rambut depannya sedikit terlihat.

Dia dengan asyiknya duduk di warung dengan sesekali mengotak-atik camera DSRL-nya, saat ribuan orang di sini menahan kantuk mendengar sambutan dengan bahasa arab yang tak dimengerti.

Ahh, jika saja aku tahu di majlis dengan ribuan jamaah ini terdapat satu pangeran semempesona dia, kurela seminggu full sekalipun jika harus menemani si Aisya majlisan. Hahaha, Aisya selalu bilang alasanku ini gila.

Surabaya, 21 April 2018

Dasar gadis konyol!
Bisa juga dia menulis curhatan sedikit alay seperti ini. Membuatku tak hentinya menahan tawa membacanya. Membayangkan lagaknya dalam bercerita. Kupikir itu curhatan adik perempuanku karena diksi-diksi sok pujangga di awalannya. Cerita di paragraf akhir menunjukkan siapa pemilik buku note yang beralih fungsi menjadi buku diary ini. Gadis konyolku lah pemiliknya, siapa lagi yang menemaniku majlisan kalau bukan dirinya. 

Kubuka lembar berikutnya. Ahh maafkan diriku, Nim. Dengan lancang membaca bukumu, aku penasaran sebab kau tak pernah bercerita tentang cowok idamanmu itu.

Wahai bukuku yang tak mampu bicara ...

Aku bertemu kembali dengan sang pemilik senyum indah seiras senja itu. Kau tau! Pria itu sekampus denganku! Ahh bodohnya, kemana saja diriku selama ini!

Dia tak berjubah pun tetap terlihat tampan. Ahh Tuhan! Apa kau sedang tersenyum saat menciptakannya? Dia begitu terlihat sempurna, hampir.

Kau tau namanya pria itu siapa? Namanya Raihan Albirruni, nama yang indah. Nama yang mungkin terinspirasi dari nama ilmuan hebat dalam dunia islam. Ilmuan dalam segala bidang. Selama aku berkuliah di sini aku sering mendengar nama itu disebut oleh beberapa mahasiswi kampus tapi aku tak pernah tau bahwa Raihan Albirruni ketua BEM kece yang menjadi pusat perhatian mahasiswi kampus adalah sosok pangeran yang kulihat di majlis tempo lalu.

Wahai bukuku yang tak mampu bicara ...

Aku mengaguminya!

Sidoarjo, 10 Juni 2018

Raihan Albirruni? Kak Raihan kah yang Hanim maksud? Ya, aku tahu gadis konyol itu memang penggemar kak Raihan.  Tetapi gadis itu tak pernah bercerita dia pernah melihat kak Raihan di majlis.

Apakah sedalam itukah perasaan Hanim?

Hatiku tak lagi kuasa menahan rasa penasaran. Hanim, gadis konyolku ... Apakah dia ... Apakah dia mencintainya?

Deg! Deg! Deg!

Jantungku tenanglah! Mari kita baca pelan-pelang saja. Jangan berburuk sangka tanpa membacanya.

Wahai bukuku yang tak mampu bicara ...

Hari ini aku duduk bersamanya di kantin. Dia terlihat semakin tampan dari dekat meskipun wajahnya sedikit berjerawat kali ini. Dasar jerawat duhaka, mengganggu ketampanannya saja! Kau tau? Wangi parfumnya tak terlupakan.

Ahh andai aku memilikinya ...

Dan ... Itu tidak akan mungkin.

Karena pangeranku mencintai Aisya, sahabat terbaikku.

Wahai bukuku yang tak mampu bicara ...

Bagaimana jika kau berada di posisiku? Di posisi ... Aku mencintainya dan dia mencintai sahabat terbaikku. Bahkan tidak hanya mencintai, dia pernah melamar ... Aisya.

Jangan suruh aku memilih, karena aku takkan pernah memilih selain sahabatku.

Biar aku saja yang melupakan.

Sidoarjo, 09 November 2018

Allahu Robbi!

Kubekap mulutku, menutupi rasa terkejut yang tak tertahankan. Hanim ... Gadis konyolku, mencintai pria yang kemarin baru saja menitipkan cintanya di jari manisku.

Gadis itu menutupi rasa cintanya. Gadis itu menutupi rasa ingin memilikinya. Gadis itu menyembunyikan rasa cemburunya, dengan sempurna.

Dia benar, bayangkan jika dalam posisi Hanim. Dia bahkan dengan riangnya bicara 'Sudahlah, Sya. Kau dengan Kak Raihan saja' seakan-akan tak ada beban cinta dalam hatinya. Aku hanya tau gadis itu mengagumi kak Raihan, hanya mengagumi.

Apa aku sahabat yang tak tau diri, dengan membiarkan cinta sahabatku melenggang tanpa sisa sama sekali? Apa aku sahabat yang tak punya hati, dengan mengabaikan cinta dalam hati sahabatku hanya dalam mimpi?

Allahu Robbi! Kau menyirami hatiku dengan cinta, lalu ... Kau hempaskan begitu saja.

Jika hanya aku yang bahagia, maka kuputuskan biar kucari jalan bahagia yang lain saja. Tanpa menyakiti sahabat yang kupunya, tentunya.

Dengan mata sedikit sembab, aku berjalan menuju nakas di samping ranjang tuaku. Meraih ponsel yang sedari tadi bertengger manis di antara buku-buku yang terlihat sedikit acak.

Bismillah!

'Kak, kita perlu bertemu.'

Pesan WhatsApp terkirim, untuk Raihan Albirruni.

***

Belajarlah pada Abu Bakar Assiddiq RA, Beliau tidak pernah meninggalkan Rasululloh SAW walau dalam keadaan setidak beruntung apapun.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang