XVIII

10.4K 761 39
                                    

Kutatap lekat pantulan gadis dalam sebuah cermin besar yang pinggirannya juga di lengkapi beberapa bohlam lampu di depanku ini. Semakin terang, hingga sedikit menimbulkan silau di mataku.

Hanya ada aku seorang diri di kamar dengan gaya eropa modern ini. Di depan cermin yang memantulkan bayangan seorang wanita cantik dengan make up hasil karya perias profesional dan gaun putih yang indah, seperti presentasi boneka barbie dalam dunia nyata. Di atas kepala yang terbingkai hijab yang di bentuk sedemikian rupa, bertengger manis mahkota yang tak terlalu besar yang bergemerlapan penuh dengan swarovsky yang tertata apik. Tak lupa dua rangkaian melati putih yang menjuntai di bahu kanannya. Harum melati, khas pengantin.

Jeglek!

Pintu di belakang tempatku berdiri setengah terbuka.

Sosok wanita dengan gamis merah muda berjalan ke arahku. Wanita inilah yang hampir membuatku mengantuk, setelah kurang lebih dua jam setengah dia mendudukkan ku di kursi depan cermin besar ini. Memoles wajahku dengan peralatan make up-nya yang sekotak besar. Hingga membuatku sedikit tak mengenali diriku sendiri.

"Monggo ke bawah, Ning. Akad nikahnya akan segera dimulai." ucapnya.

Deg! Deg! Deg!

Seketika keringat dingin seperti tengah membasahi diriku. Bagaimana kabar jantung? Dia masih baik-baik saja, hanya saja kebiasaan noraknya kali ini meningkat berkali-kali lipat. Jantungku seperti sedang berontak ingin melepaskan diri dari tempatnya. Tubuhku gemetar lemah.

Ya, hari ini telah tiba. Hari di mana Allah menakdirkan diriku melaksanakan sebuah ibadah bernama pernikahan. Ibadah terpanjang, yang masa pelaksanaannya hampir separuh dari hidup. Tidak seperti puasa Romadhon yang hanya satu bulan saja, ataupun tidak seperti ibadah haji yang masa pelaksanaannya hanya empat puluh hari. Ibadah yang di ibaratkan sebagai surga dunia, di mana di setiap sudutnya berganjar pahala.

"Monggo, Ning!" Wanita itu mengaitkan tangannya di lenganku. Membantuku berjalan dengan baik dengan beban gaun berat dan sepatu tinggi yang kini kukenakan. Sebenarnya aku tak ada masalah dengan semua itu, hanya saja rasa gemetarku terlalu menggila hingga membuat jalanku sedikit tertatih.

Keringat dingin.

Jantung tak beraturan.

Gemetaran yang tiada tara.

Katakan! Apakah ini hal wajar saat menjelang akad nikah? Atau memang tubuhku sedang terserang penyakit tertentu?

Tetap ku langkahkan kakiku mengikuti arah yang di tunjukan mbak perias di sebelah kiriku. Menuruni tangga dengan pegangan kayu jati yang terukir indah ini, yang dulu sempat membuatku kagum saat pertama kali melihatnya. Tangga di rumah kak Raihan.

Kulihat beberapa orang sedang duduk berkumpul di ruangan besar ini. Hampir semuanya perempuan, dari yang ibu-ibu, gadis-gadis yang masyaAllah cantik, hingga anak-anak kecil yang begitu lucu. Semua berkumpul di sini, sedangkan yang laki-laki tengah berada di masjid sebelah rumah kak Raihan, menjadi saksi ijab qobul.

Mbak perias terus mengajakku melangkahkan kaki menuju tempat ibuku dan ibu Nyai duduk. Mengarahkan diriku untuk duduk di samping mereka, duduk tanpa kursi dengan gaun yang ku kenakan saat ini. Menanti sesi ijab qobul terlaksana.

Ku pejamkan mata sejenak. Bercampur dengan berbagai rasa dalam hati, entah bagaimana aku menjelaskannya. Antara gemetar, takut, dan tegang menjadi satu.

Kuremas-remas selembar tissu yang tadi sempat di berikan oleh mbak perias. Tegang.

Hingga terdengar khutbah nikah dibacakan. Lanjut dengan pengucapan ijab.

"Ya Raihan Albirruni Al Anshori bin KH. Hasyim Abdurrohman Al Anshori, ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka ibnati, Aisya Siddiqah bil mahri 'isruuna milyun rubiah khaalan."

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang