XIII

10.4K 684 11
                                    

"Tolong panggilkan pak RW, Leh! Mau pamit pulang." perintah pak Kyai pada kak Raihan.

Pria berbadan altetis itu beranjak dari tempat duduknya. Berjalan menuju pintu penyekat ruang tamu dengan ruang tengah rumah bercat kuning kecoklat-coklatan ini. Sesekali terdengar memanggil pak RW dengan suara halusnya.

Bapak paruh baya mendatangi kami. Tetap dengan kaos putihnya yang tak begitu longgar, semakin menampakkan perut buncit khas orang kantoran. Matanya tak begitu merah, tanda bahwa bapak ini belum memejamkan matanya. Mungkin karena menunggu konfrensi meja bundar antara keluarga kak Raihan dan keluargaku selesai. Maafkan kami pak RW, sungguh!

"Terima kasih, Pak RW. Atas kesediaan meminjamkan ruangnya." Abah Kyai menepuk pundak pak RW, pelan.

"Njih, Kyai. Mboten nopo, saya malah senang kerawuhan njenengan."

"Ngapunten loh, Pak. Sudah merepotkan juga mengganggu waktu istirahat njenengan" Kali ini Bu Nyai bersuara. Sejak tadi beliau hanya diam saja, mungkin sepakat dengan keputusan-keputusan suaminya.

"Oh Ti-tidak kok, Bu Nyai." jawab pak RW dengan senyum. Bagaimana tidak merepotkan! Kami sudah mengganggu waktu tidurnya.

"Kalau begitu kami pamit, sudah terlalu malam. Terima kasih banyak loh ya." Sekali lagi Kyai berkarisma itu dengan ramahnya menepuk pundak pak RW dengan lembut, bahkan lebih terkesan hanya mengelus.

"Ampun bosan-bosan mampir mriki, Kyai"

Kami berjalan menuju teras luar. Permohonan maaf dan ucapan terima kasih menyertai prosesi pamitan dengan bapak nomer satu di desa ini, formalitas.

***

Kulihat mobil pajero sport yang tadi siang kunaiki sedang terparkir rapi di halaman rumah mewah dengan dua lantai ini. Kang Rohman terlihat sudah di depan mobil, menyambut Kyainya. Di bukakan pintu bagian tengah dengan santun, mempersilahkan Kyai beserta istri dan putranya.

"Bah, kersane Aisya kaleh tiang sepahe tumut mriki mawon." Bu Nyai mangajukan permintaan untuk mengajak bapak dan ibuku pulang bareng.

"Ke-kersane, Bu Nyai. Rumah saya dekat sini saja kok," tolak ibu. Tidak enak hati, kami sudah banyak menyusahkan mereka.

"Wes gak apa-apa. Itung-itung biar besok kalau mau bertandang gak leren kesasar." goda abah Kyai.

Apa kata beliau? Biar gak kesasar! Lah wong putranya sudah pernah kerumahku kok, bagaimana besok bisa kesasar! Eits! emangnya kalau lamaran seperti itu, mempelai putranya ikut hadir, bukan? Atau hanya pihak keluarganya saja yang hadir? Ahh, entahlah aku belum pernah lamaran.

Oh, aku lupa! aku pernah dua kali dilamar dan ... Hanya seperti permainan. Di mainkan lalu ... Bubar.

Berharaplah saja, Sya. Besok lamaranmu benar-benar terjadi. Tidak berakhir mengenaskan seperti yang lalu-lalu. Jika tidak! Kau pasti di hadiahi para tetanggamu dengan piring cantik dan gelas cantik karena sudah mencetak hattrick dalam hal perlamaran. Pikiranku bergerilya kemana-mana.

***

"Hallo, Assalamu'alaikum" Ku tempelkan ponselku tepat di telinga.

"Wa'alaikum salam. Kalau sudah selesai, langsung pulang ya, Nduk. Bantuin siap-siap di rumah" ibu mengingatkanku perihal kedatangan keluarga kak Raihan di hari ini.

"Njeh, Buk. Ini baru mau keluar kampus"

"Ya wes, hati-hati. Assalamu'alaikum." Ibu mengakhiri telponnya.

"Ada apa?" Hanim mendengar pembicaraanku dan ibu melalui telpon tadi.

"Di rumah lagi ada acara, Nim. Di suruh ibu pulang, buat bantu-bantu." jelasku sambil memasukkan asal ponselku di dalam tas.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang