VII

10K 720 10
                                    

"G-gus ..." aku dan Hanim bergumam bersamaan. Saling menyenggol lengan satu sama lain, memastikan kami tidak salah dengar. Bahwa kang Rohman memanggil kak Raihan dengan sebutan, Gus. Panggilan hormat untuk putra seorang Kyai. Aku dan Hanim sedikit terngaga tanpa sadar. Benarkah pria di depanku ini seorang putra Kyai? Sekali lagi, putra seorang Kyai?

"Dia gus, Sya! Ini benar-benar gila!" gumam gadis konyol di sebelahku ini dengan ekspresi yang sulit di gambarkan, wajah melongo, mata sedikit terbelalak, tubuhnya kaku hampir seperti patung baju di mall-mall dan jangan abaikan bagaimana cara dia menarik napasnya, sungguh! seakan-akan napasnya ikut berhenti. Napasnya benar-benar melambat dengan tarikan-tarikan halus, terlihat hampir tidak bernafas sama sekali. Dia benar-benar tidak percaya bahwa idolanya adalah putra seorang Kyai. Sama sepertiku, tidak percaya.

Yang benar saja! Kau tau sendiri, bukan? Pria itu bahkan tak memperlihatkan tingkah laku seperti gus-gus pada umumnya. Dia tampan? Benar, gus-gus lain juga tampan. Dia pintar? Benar, gus-gus lain juga pintar, sangat pintar terkadang. Tetapi coba lihatlah cara berpakaiannya! dia bahkan sering memakai celana jeans berbagai model, seperti yang ku tahu para gus-gus biasanya tampil rapi dengan sarung yang berpadu serasi dengan baju koko ataupun kemeja lengan panjang.

Bukan hanya cara berpakaiannya yang tak mencerminkan bahwa dia seorang putra Kyai, coba ingat-ingat dengan baik tingkah lakunya yang selama ini sering bahkan hampir setiap waktu mendekatiku, duduk di sampingku tanpa canggung, dan mengobrol denganku tanpa ada batas, walaupun ku tahu dia tak pernah menatap mataku saat kami berbicara. Eitss, tunggu! Apa dia tak pernah menatapku karena dia menjaga pandangannya? Ya, mungkin saja benar begitu. Bahkan kalau di ingat-ingat kami tidak pernah ngobrol berdua, karena selalu ada Hanim diantara kita. Kecuali, tadi siang kami ngobrol berdua tanpa gadis konyol itu, dan itu pun kita ngobrolnya di taman kampus yang notabenya tempat umum dan di sana banyak mahasiswa sedang duduk dengan laptopnya ataupun duduk bergerombol saling melempar candaan.

Pria itu menjaga batasannya dengan baik. Kau salah menilai orang, Sya! Argh, Dia memang benar-benar sulit dipahami.

"Monggo, Mbak!" suara kang Rohman membuyarkan lamunanku. Kang Rohman membukakan pintu penumpang mobil berpenampilan gagah di depanku ini. Mempersilahkan aku dan Hanim untuk segera menaikinya.

"E-eh iya, Kang" Hanim menyeret pelan pergelangan tangan kananku, menaiki mobil dan duduk di bagian tengah. Tak lama kemudian kang Rohman melajukan mobil dengan pelan. Tampak pula kak Raihan mengendarai motornya, tak jauh di depan mobil yang kami tumpangi.

"Eh, Sya. Kursinya empuk, enak ya. Gak kayak kursi si angkot coklat puyeh itu" suara hanim sedikit berbisik, tentu dengan kikikan tawanya.

"Dasar gadis konyol, mana bisa kau samakan naik angkot dengan naik pajero sport seperti ini" celaku sambil menepuk pelan lengannya.

Gila saja! Dia samakan angkot dengan pajero sport, ya jelas ketara sekali bedanya. Kau hanya perlu satu lembar pecahan 5000 rupiah untuk menaiki angkot dengan segala fasilitasnya, termasuk duduk melawan arah mobil melaju, yang untuk sebagian orang itu menyebabkan pusing yang berkepanjangan. Dan untuk pajero sport, kau butuh ribuan tumpukan uang pecahan 5000 rupiah untuk bisa menaikinya dengan segala kenyamanan fasilitasnya, termasuk duduk normal tanpa melawan arah mobil melaju, enak kan? Ya tentu enak, lah memang mobil mahal. Beda lagi kalau numpang naik seperti ini, semuanya gratis! Cuma tinggal duduk doang! Tanpa mikir biaya dan bayar pajak. Yang gratis memang selalu menyenangkan.

"Eh, Kang. Kak Raihan itu putra seorang Kyai, ya?" tanya Hanim pada kang Rohman. Tingkat ke-kepoan-nya mulai meninggi.

"Lah iya toh, Mbak. Beliau kan putra bungsunya abah Hasyim Abdurrahman Al Anshori, masak mbaknya gak tau?" ungkap kang Rohman di sertai pertanyaan perihal ketidaktahuan kami.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang