BAB 2

7.6K 818 70
                                    

Musa tidak ingat kapan terakhir kali ia begitu menyukai terbitnya mentari seperti hari ini.

Selama bertahun-tahun, tidak ada yang lebih dibencinya selain datangnya pagi. Musa membenci terbitnya matahari dan semua hal yang menyadarkannya bahwa ia harus kembali mengenakan mahkota raja.

Sebuah mahkota yang dengannya ia tidak berani menatap dirinya sendiri di depan cermin. Sebuah logam dengan derajat paling tinggi yang dengannya ia memiliki batasan bahkan terhadap dirinya sendiri. Sebuah benda warisan yang dengannya Musa bukanlah remaja bernama Musa, melainkan sosok pemimpin dengan sebutan Yang Mulia Abqari Musa.

Namun, alam mematahkan perkara antara sang raja dan pagi kali ini. Membuat seseorang yang paling membenci putaran waktunya justru menantikannya.

Ada aliran energi yang menyentakkan Musa untuk terus memacu kudanya selepas matahari terbit. Aku tidak bisa menunggu lagi, batinnya.

"Ayahmu menyukai Chirvasta," Husain menggumam. "Tempat ini salah satu yang bisa mendefinisikan keindahan baginya ..., setelah ibumu tentunya."

Bibir Musa tertarik membentuk seulas senyuman. "Aku sudah membaca salah satu puisinya tentang kota ini."

"Benar. Ia menulisnya selepas perjalanannya yang terakhir. Saat itu antar wilayah kita belum terpecah." Husain menoleh kepada keponakannya. "Kau mengambil keputusan yang tepat untuk menuntaskan pemberontakan dan menutup semuanya dengan kemenangan ini."

"Aku hanya tidak ingin perjuangan raja-raja sebelumnya sia-sia," sahut Musa.

Husain memperlambat kudanya sesaat demi menepuk bahu Musa. "Kau yang termuda dalam sejarah. Kau tahu, memimpin perang besar."

Selama melanjutkan perjalanan, Musa mengingat saat-saat ketika dririnya hendak pergi ke medan perang. Kala itu matahari belum menampakkan diri. Musa masih menjadi diri sendiri.

Dengan meninggalkan pedangnya di dalam kamarnya, ia menuju kamar Shofiya. Di sana, dilihatnya istrinya tengah mondar-mandir sambil menggumamkan hitungan-hitungan rumit ..., pertanda dirinya sedang tidak percaya diri.

"Assalamu'alaikum, boleh aku masuk?" tanya Musa setelah melewati dua penjaga di sisi kanan dan kiri pintu kamar Shofiya. Karena menikah di usia sangat belia, keduanya memang tidak ditempatkan dalam satu kamar.

Perubahan penempatan kamar raja dan ratu akan diserahkan kepada keduanya kelak jika Musa dan Shofiya telah menginginkan hal tersebut. Sejauh ini, keduanya masih menjalin hubungan yang tidak jauh berbeda dengan pertemanan mereka semasa kecil.

Shofiya berhenti menggumam sebelum akhirnya menjawab salam Musa. Suaranya terdengar gelisah. Namun ketika kedua mata mereka bertemu segalanya berubah. Kegugupan justru membungkus keduanya.

Ingin sekali Musa menyumpah serapah dirinya sendiri ketika perasaan tidak percaya dirinya kembali menyerbu. Sungguh ia belum pernah berkeringat dingin seperti ini, bahkan saat harus berhadapan dengan ribuan pasukan musuh nanti, ia bisa jamin.

"Shofiya ...," Sial.. umpatnya dalam hati ketika ia tidak bisa menemukan kalimat dalam benaknya yang beberapa saat yang lalu telah ia susun dengan susah payah. "Begini. Aku ..., emm. Bisakah ..., bisakah ...."

Tiba-tiba Musa dikejutkan oleh tubuh Shofiya yang menghambur ke tubuhnya.

"Katakan saja! Apa?" ujar Shofiya sambil mendekap Musa. Bahkan Musa berani bersumpah ia mendengar isakan lemah dari gadis yang sekarang ia kurung dalam pelukan.

Sambil mengeratkan dekapannya, napas lega berembus dari mulut Musa. "Kau sedang melakukannya. Terima kasih," bisiknya kemudian menghirup aroma rambut gadis itu dalam-dalam. "Aku baru saja ingin memintamu supaya bisa memelukku sebelum aku pergi."

Air mata Shofiya menjelaskan semuanya. Kalut, gelisah, dan khawatir berbaur menjajah hatinya jadi satu. Tanpa suara, ia mengeratkan pelukan sebelum akhirnya melepas kepergian rajanya ke medan perang.

****

Seruan bahwa pasukan yang dipimpin sendiri oleh Raja Zaira telah tiba, tersebar ke seluruh penjuru ibu kota. Seluruh penghuni istana berbenah. Menghias dan menyiapkan segala keperluan untuk upacara penyambutan pasukan kebanggaan mereka.

Saat rombongan tiba, para prajurit dengan sigap membuka gerbang kokoh istana. Bersamaan terompet kemenangan yang dibunyikan, puluhan moncong kuda dari pasukan utama mengarah ke dalam mulut gerbang istana. Sorak-sorai rakyat yang berkumpul di depan istana bergemuruh menyambut kedatangan pasukan kebanggaan mereka.

Shofiya berdiri tepat di ujung jalan menuju pintu utama bangunan megah itu, bersama ibu suri dan Hulya, adik kesayangan Musa. Seketika lapang pandang Musa menyempit kepada tiga wanita utama dalam hidupnya. Dihentikannya kudanya kemudian turun dan berjalan mendekat.

Ada sesuatu yang merekah bebas dalam dada Musa, terus mengembang di setiap langkahnya. Bersama senyum paling bahagia yang pernah diukirnya, ia memeluk sang ibu. Kuncup kebahagiaan yang sedari tadi mengembang dalam dadanya kini dengan percaya diri merekah, memecah ketegangan yang menjadi pendampingnya selama berperang.

"Alhamdulillah, Allah telah mengaruniakan kemenangan kepada kita," bisik sang ibu, nyaris tak bersuara karena terharu.

Tidak ada kalimat yang bisa Musa sampaikan. Matanya nyaris mengeluarkan air mata kalau saja Shofiya tidak menyentuh tangannya terlebih dulu.

Di antara sekat jarak yang berhasil dimangsa oleh keduanya, rindu menyamar sebagai kabut di mata Shofiya. Tumpukan perasaan dalam hatinya membasahi binar indah mata berwarna abu-abu itu hingga kuyup.

Dengan gerakan tak terduga, yang selama ini belum pernah dilakukannya, Shofiya menarik tangan suaminya untuk bertemu dengan hidungnya.

"Selamat datang kembali," ucap Shofiya, masih menempatkan tangan suaminya di ujung keningnya. Udara tak kasat mata yang berbaur di antara wajahnya dan jemari Musa ia hirup sebagai napas pertama yang melegakan.

Seolah menyembuhkan luka yang diperolehnya di medan perang, sambutan itu dibalas dengan rengkuhan yang menjadi peredam bulir-bulir rindu yang sejak lama berlarian meminta pelepasan.

Kemenangan terasa semakin nyata ketika arak-arakan yang diiringi seruan-seruan yang mengagungkan kejayaan dinasti mereka bergema tiada henti.

------------------to be continued

Ciyeee pulang disambut ayank

Yang mau lanjut mana nih suaranya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang mau lanjut mana nih suaranya?

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang