BAB 29

7.3K 449 84
                                    

Rembulan bersembunyi di balik awan. Malam terlanjur larut dalam pelukan hawa dingin yang tanpa ampun menusuk tulang siapa saja yang nekad menembusnya. Bersama gelap yang menelan seluruh kesadaran banyak manusia dalam mimpi, Shofiya menerjang malam bersama kudanya. Berbalut cadar dan kain tebal yang membungkus tubuhnya, ia menyeret hatinya untuk ikut terjun keluar istana. Menantang ganasnya padang pasir dan para makhluk malam.

Shofiya sudah lama berkawan dengan gelap. Baginya gelap sudah memiliki territorial sendiri dalam hatinya. Dan wilayah itu permanen sejak dunia berjalan tanpa ayah dan ibunya. Bukan perkara sulit jika ia harus merasuk lagi ke dalam gelap dan bahaya yang merupakan pasangan abadi. Ia tidak keberatan. Asalkan gelap mampu menelan sakit di hatinya. Asal gelap juga bersedia menelan rasa kecewanya. Karena terkadang, gelap lebih mengerti dirinya dibanding yang lain.

Gelap lah yang masih setia menemani meski ia tidak sedang bersikap sebagai seorang ratu. Gelap lah yang mampu menerimanya dalam keadaan paling jujur dan jatuh sekalipun. Dalam gelap, Shofiya tidak perlu lagi menyembunyikan air matanya. Ia bebas.

Fajar menjadi jembatan para malaikat untuk turun ke bumi. Setelah semalaman bergelut dengan ganasnya padang pasir, Shofiya memacu kudanya lebih lambat saat mencapai batas hutan dekat perkampungan demi mencari tempat untuk sholat. 

Kini, Shofiya telah selesai bersimpuh dan mengadu kepada Sang Kuasa. Pasrah ke mana Allah menuntunnya bersama perjalanan ini.

Tepat saat ia kembali menaiki tunggangannya, sebuah mata pedang terarah ke kedua tangannya yang hendak memegang kendali kudanya. Gelenyar perasaan waspada mengisi ruang dalam rongga dada gadis itu. Matanya menuju hulu logam tajam itu dan berhenti pada sosok yang memegang kendali logam itu.

"Kau berada di bawah kuasa kami, Ratu dari Zaira," kata lelaki yang ternyata hanya setara dengan bandit. Tidak ada yang membuat Shofiya gentar kecuali percikan amarah saat bandit rendahan itu menyebut nama Zaira dengan nada mengejek.

"Turunkan pedangmu atau pedangku yang akan memaksanya turun," balas Shofiya. Ada penekanan pada pilihan terakhir yang dilontarkan Sang Ratu.

Lelaki tadi mengangkat pedangnya yang disusul perintah kepada rombongannya untuk mengacungkan pedang ke wanita di hadapannya.

Shofiya terdiam. Ia sedang berhitung. Empat pedang kini teracung ke arahnya. Ia tidak sedang bermain dengan Musa atau berlatih dengan prajurit istana. Ini sungguhan. Jika harus melukai, mereka akan benar-benar melukainya. Shofiya meraih pedang yang terselip dalam busananya dan mengoyak formasi empat pedang yang menyudutkannya dengan sekali sentakan persis angin ganas padang pasir.

Formasi yang terbuyarkan itu kini menyerang Shofiya dari beberapa sisi. Dua membidik sisi kanan kirinya, sementara dua lainnya berupaya menjatuhkan pedangnya dari depan. Shofiya bisa menangkis serangan dari sisi kanan kirinya dengan mudah, ia juga menghunuskan pedangnya ke depan demi membuka jalan untuk merangsek maju. Namun salah satu penyerang berhasil membuat tunggangan Shofiya meringkik kesakitan dan nyaris menjatuhkannya karena terkena sabetan pedang. Shofiya tidak punya pilihan selain melenting untuk bertahan dan berbalik melumpuhkan musuhnya dengan cepat. Ia menyerang dan menangkis serangan tanpa kesulitan. Ia sudah lebih dari sekedar terlatih untuk urusan ini. Dalam hitungan detik, keempat penganggu tadi sudah berhasil dilumpuhkan.

Namun bersamaan dengan jatuhnya penyerang terakhir, muncul dua sosok baru yang tampaknya sudah memperkirakan dan menunggu saat-saat itu. Dua sosok itu mendekat. Salah seorang hendak maju mengayunkan pedangnya sebelum salah seorang lainnya menahannya.

"Sudah kukatakan, aku sendiri yang akan menjemputnya." Suara itu membuka beberapa kotak kenangan dalam kepala Shofiya.

Sosok itu kini mendekat. Meninggalkan seorang lainnya di belakang.

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang