Shofiya memberanikan diri untuk keluar kamarnya. Ia harus meluruskan perkara ini. Sekalipun ia tidak bisa menjelaskan tentang peristiwa pendarahan yang dialaminya, setidaknya ia bisa menjelaskan tentang seseorang yang menyusup ke kamarnya. Ia sudah menyiapkan kalimat paling diplomatis yang ia harap bisa membela dirinya tanpa mengingkari janjinya kepada Pangeran Hasan.
Kaki Shofiya sudah terulur untuk memasuki kamar Musa ketika didengarnya suara Musa berbicara dengan seorang wanita di dalam ruangan itu.
"Apa kau sudah selesai?" Suara Musa terdengar jelas.
"Aku?" Wanita itu... tentu saja Ratu Arinda.
"Iya. Apa kau sudah selesai mengamati seisi kamarku?"
"Oh. Um.. aku..."
Tawa Musa berderai.
"Kalau belum cukup, teruskan saja. Atau kau bisa datang lagi lain kali. Sepertinya kamarku dan perabotannya lebih menarik perhatianmu."
Ratu Arinda berdecak. "Bukannya aku tertarik. Kau pikir aku tidak bosan hanya memperhatikanmu makan?"
"Kalau begitu ikutlah makan."
"Tidak usah. Aku sudah kenyang."
"Hanya sesuap." Musa memaksa.
"Singkirkan tanganmu, Yang Mulia. Kau pikir aku mau makan dari suapan tanganmu?"
Musa tertawa miris. "Benar saja. Ini adalah tangan yang menumbangkan ayahmu. Mana mungkin kau bersedia makan dari sini?"
Hening untuk beberapa saat.
"Kau... masih bermimpi buruk?"
"Tidak sesering dulu."
"Oh ya? Tapi kau terlihat seperti kurang tidur."
"Wajahku, rautku... memang seperti ini. Jangan bicara seolah kau mengenali setiap sisi dari diriku."
"Memangnya bagaimana supaya aku bisa mengenalmu?"
"Tidak usah memikirkan hal yang tidak penting, Yang Mulia. Tugasmu sebagai raja sudah terlalu banyak. Belajar diplomasi yang lebih baik, mungkin... Supaya kau tidak selalu menggunakan pedangmu untuk menakhlukkan wilayah."
Musa tersenyum tipis. Ia sudah menduga Arinda membentengi dirinya dengan sikap sinis.
"Kau perlu belajar tentang pedang, sebelum berani mencacinya."
"Benar. Perkataan dan pendapatku tidak akan ada nilainya. Tidak seperti ratu kesayanganmu yang serba bisa dan suaranya selalu kau deng---"
Belum selesai Arinda bicara, Musa kembali bersuara. "Hari ini cukup cerah. Minta pelayan untuk membawakanmu pakaian khusus untuk berlatih. Aku akan mengajarimu teknik dasar berkelahi."
"Apa? Sekarang?"
"Iya."
"Kau pikir aku mau?"
"Ini perintah. Kau tidak lupa dengan siapa kau bicara?"
Mendengar itu, Shofiya merasa ada yang menekan dada dan meremas tenggorokannga. Alih-alih memasuki ruangan, Shofiya justru berbalik arah.
****
Di dalam kamarnya, dengan perasaan kalut, Shofiya berkemas. Ia sudah meminta Nadira untuk menyiapkan kuda untuknya. Sambil menunggu gelap tiba, Shofiya menuliskan pesan untuk sang raja.
"Ratu Shofiya, kau tidak boleh begini," ujar Nadira yang tidak bosan-bosannya mencegah majikannya untuk pergi.
"Kau sudah menyiapkan kuda untukku?" tanya Shofiya tanpa mempedulikan peringatan Nadira.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAJA, RATU & SELIMUT DEBU
Historical FictionSebagai raja muda yang ambisius, Musa berhasil memperoleh kemenangan atas tanah Graha. Kepulangan sang raja disambut penuh suka cita oleh segenap keluarga termasuk Shofiya, teman kecilnya yang kini telah menjadi ratunya. Bahagia, rindu yang terbayar...