BAB 12

4.3K 512 68
                                    

Aaya sedang mengantri kue Jelabi di salah satu pedagang pasar. Dulu, ketiganya senang sekali memakan Jelabi ketika bermain bersama. Kue bundar manis yang paling nikmat jika disantap selagi hangat.

Selama Aaya mengantri, Hulya dimintanya untuk menunggu di tempat teduh, ditemani Azzam.

"Aku dengar kau akan ditugaskan ke wilayah utara." Hulya membuka pembicaraan. Suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk pasar siang itu.

"Kau sudah dengar rupanya," sahut Azzam.

Hulya terdiam sesaat. Kemudian memulai lagi. "Kau tidak menemuiku saat pulang dari medan perang." Kini, nada bicara sang putri terkesan lebih dalam. Terbaca getaran di dalam suaranya.

Azzam merasakan sesuatu menyekat tenggorokannya. Ia tahu taktik Aaya. Selain melindungi Hulya dari panas matahari, saudari kembarnya itu sengaja menempatkannya berdua dengan Hulya agar keduanya mendapatkan ruang untuk membahas perkara apapun yang mengganjal hati mereka.

"Aku tidak pernah melewatkan satu hari pun tanpa mencemaskanmu, kau tahu?" Hulya melanjutkan, kemudian tersenyum sinis. "Bodoh sekali, bukan? Kau bahkan mungkin tidak sedikit pun memikirkanku di sana."

Azzam menoleh ke arah Hulya yang berdiri di sampingnya. Gadis itu terlihat begitu berbeda. Rupanya sepanjang hari ini ia hanya menggunakan senyuman sebagai topengnya. Bagaimana pun, ia tetap merindukan wajah itu. Dengan atau tanpa topeng.

"Kau salah," ujar Azzam tanpa beralih dari wajah indah itu. Wajah yang membuatnya mengerti mengapa para pujangga menyusun kata sedemikian panjang dan berbelit sekadar untuk menggambarkan keindahan makhluk bernama wanita.

Hulya kembali menampakkan gurat senyum yang menyiratkan kemuakan.

"Benarkah?" Gadis itu mendesah pelan kemudian menatap mata Azzam. Mata yang bahkan sudah membuat hatinya tenggelam bahkan sebelum ia sempat menatap dan menyelaminya seperti hari ini.

"Kau semakin mirip kakakku. Bersembunyi di balik perisai dan pedang. Takut menunjukkan dirimu yang sebenarnya."

Kalimat itu hampir membuat Azzam mengguncang tubuh sang putri untuk menyadarkan gadis itu. Sebelum akhirnya ia sadar akan posisinya.

"Dunia tidak berputar mengitari kita, Hulya. Ada kalanya kita harus mengikuti alurnya, memahaminya, sampai tahu kapan bisa bebas dan mengendalikannya."

"Tapi kau harus punya batas." Kini keduanya benar-benar bertatapan.

"Jangan sampai tenggelam dalam alur itu sampai lupa untuk naik ke permukaan hingga tidak ada jalan untuk kembali." Mata Hulya terasa memanas. Air mata sudah siap membasahi keringnya udara kalau saja Aaya tidak kembali dan berseru kepadanya.

"Dulu aku selalu bisa menemukanmu di mana pun kau bersembunyi. Sekarang, kau bahkan tidak bersembunyi. Hanya aku yang pergi. Aku tidak akan mendapatkan kesulitan berarti untuk kembali menemuimu."

Kalimat Azzam mengakhiri percakapan keduanya. Air mata Hulya pun hanya bermuara pada usapan ringan.

Sementara Hulya, Aaya, dan Azzam pergi bersama, Musa melanjutkan diskusi perihal wilayah kekuasaannya dengan gubernur sembari meninjau beberapa lokasi yang butuh penyelesaiannya.

Arinda bersama wanita-wanita di balai pertemuan menyiapkan hidangan untuk makan malam. Sesuai tradisi Taryan, istri dari tamu dianjurkan untuk ikut mempersiapkan hidangan bagi suaminya sekaligus beramah-tamah dengan para wanita Taryan lainnya.

"Yang Mulia Ratu, apa Anda pernah memasak untuk raja sebelumnya?"
Mendengar pertanyaan ketua dapur, Arinda berusaha tersenyum. "Aku belum lama di istana, jadi belum berkesempatan melakukannya," jawab Arinda.

"Saat pertama kali kemari, Ratu Shofiya memberi tahu kami bagaimana cara menghidangkan makanan untuk Yang Mulia. Berkatnya, raja selalu memuji hidangan kami meski beberapa kali beliau sempat melakukan kunjungan tanpa Ratu Shofiya," ujar wanita gemuk itu dengan nada antusias. Ia mengusap peluh yang mengalir di pelipisnya. Dari raut wajahnya, ia tampak mencintai pekerjaannya meski dengan badannya yang gemuk ia sedikit terseret-seret ketika berjalan.

"Masukkan bumbunya sekarang, Ratri!" teriaknya pada tukang masak yang lebih muda di ujung ruangan, kemudian kembali tersenyum kepada Ratu Arinda.

Lagi-lagi Arinda mencoba bersikap normal. "Begitu ya, kalau begitu aku bisa belajar darimu sekarang," ucap Arinda sambil melanjutkan kegiatannya memotong sayuran.

Hari itu, para wanita banyak berbagi cerita dengan ratu baru mereka. Bagi mereka, Arinda adalah sosok rendah hati yang bisa menghargai orang-orang di sekitarnya. Namun, tak sedikit pula yang membanding-mbandingkan istri ke-dua raja itu dengan istri pertamanya.

Meski begitu, hari berjalan penuh suka cita hingga makanan siap dihidangkan.

Tanpa sepengetahuan kepala dapur, Arinda sengaja menambahkan sesuatu demi menguji sang raja. Ada sesuatu yang ingin disaksikan Arinda. Sesuatu yang ingin ia ungkap lewat hidangan itu.

--------------------to be continued

Ratu Arinda mau ngapainnnnnn????????

Yuk komen yg banyak buat lanjut...
Buat yang nggak sabar, bisa langsung cus ke karyakarsa karena di sana udah sampe BAB 21 😘

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang