Hasan melepas surban dan pakaian lusushnya. Dari pantulan cermin, tampak bekas goresan di matanya yang seolah terhubung dengan bekas luka di dadanya. Meski begitu, sosoknya masih tetap memancarkan pesona ketampanan dan kegagahan seorang pangeran.
Luka di kulitnya sudah sembuh meski meninggalkan bekas. Namun, luka di hatinya semakin menganga.
Selepas ditinggalkan oleh pasukan Zaira beberapa tahun lalu, Hasan yang terluka parah diselamatkan oleh Ahmet, putra dari salah satu pemimpin aliansi pasukan pemberontak Zaira kala itu.
Bersama Ahmet, Hasan tumbuh jauh dari lingkungan istana. Ia dibesarkan dan dibentuk oleh dendam. Menghapuskan Hasan kecil yang penurut, sabar, penuh tawa, dan penyayang. Juga menggilas habis memori indah tentang Zaira di kepalanya, menggantikannya dengan pekat kebencian. Kecuali tentang satu nama. Satu nama yang jika terngiang dalam ingatan, memunculkan satu dari sisa-sisa sisi kemanusiaan dalam diri lelaki itu.
"Kau belum sempurna tanpa mahkotamu, Pangeran." Ahmet menatap Hasan dari belakang. Tersenyum. Senyum yang dinilai Hasan sebagai senyum licik.
Hasan enggan menjawab. Tahun-tahun berat membuatnya menjadi sosok dingin yang kokoh di tengah panasnya gurun pasir.
"Dia juga merebut gadismu, bukan?" Ahmet kembali bersuara.
"Jaga bicaramu." Hasan tidak pernah suka ketika Ahmet ikut campur perkarra dirinya dan Shofiya.
Ahmet masih mengurai senyum. Ia tahu ini akan berguna. "Ayolah, kau datang menyamar dan mengawasinya sampai sekarang. Kau masih mau bilang tidak mencintainya?"
"Itu bukan urusanmu."
"Tentu saja urusanku. Kalau kita mengalahkan saudaramu itu, dan kau tidak memperistri ratunya ..., aku yang akan dengan senang hati mengambilnya."
Seketika Hasan menarik bilah pedangnya dan mendorong Ahmet ke dinding dengan keras kemudian menghimpitnya.
"Kalau kau berani memandangnya ...," Hasan menahan kalimatnya. Matanya mengunci mata Ahmet. "Aku bersumpah akan membuatmu membayar dengan kedua mata ini sehingga Shofiya akan menjadi definisi keindahan terakhir yang bisa kau lihat."
Ahmet menyeringai. "Karena itu, jangan hanya rajin bercermin meratapi luka-lukamu dan membongkar pasang surban dan pakaianmu lusuhmu itu. Segera lakukan apa yang harus kau lakukan. Jika kau berhasil mengalahkan Musa, bukan tidak mungkin kau akan mendapatkan kekasihmu kembali."
Hasan melepaskan himpitannya dengan kasar. "Kau tidak punya hak untuk memberi komando atas pergerakanku. Semuanya sudah siap. Aku tinggal menjalankannya kalau aku mau. Berhentilah mengusikku dengan mulut besarmu hanya karena tergesa-gesa."
****
"Jadi kau telah mengirimkan surat panggilan untuk Ali?" Musa membuka suara setelah mereka menyaksikan beberapa ronde pertarungan.
"Setidaknya aku tidak mengerahkan pasukan untuk membunuhnya di tempat."
"Terkadang kau bisa sangat sadis rupanya." Musa terkekeh.
"Dia telah lancang menyusup ke puri wanita, terlebih saat kau tidak ada di istana," tutur Shofiya.
Musa menoleh ke arah istrinya.
"Sama dengan yang dilakukan Akbar, bukan? Kau juga memperingatkannya melalui Paman."
Kali ini, Shofiya balik menatap suaminya. "Kuharap kau tidak marah karena aku memanggilnya tanpa seizinmu."
Bibir Musa menarik senyuman. "Tentu saja tidak. Aku sendiri yang memberimu kewenangan itu. Akbar menaikkan pajak lebih tinggi dibandingkan wilayah Zaira yang lain, hal itu sama sekali tidak mencerminkan ciri pemerintahan Zaira yang selama ini sangat menjunjung kepentingan rakyat. Di samping itu, dia menyerang Nilam tanpa seizinku."
Musa menghela napas. "Awalnya aku ingin memanggilnya untuk menghadap. Tapi karena kau sudah mengingatkannya lewat Paman, kuharap beliau bisa menyampaikan hal itu dengan cara yang lebih dimengerti Akbar."
"Tapi, kau tidak akan diam saja atas ulahnya kan?"
"Aku sudah menghubungi kerajaan tetangga supaya tidak terpancing dengan apa yang berusaha dilakukan oleh Akbar. Begitu pula langkah yang akan kuambil setelah masa percobaannya." Musa menghela napas berat. "Dan untuk Paman, aku bersama orang-orangku sedang mengawasinya belakangan ini."
Shofiya meraih tangan jemari suaminya, berharap semua akan baik-baik saja.
****
Dua wakil istana yang sedang ditugaskan untuk pengawasan menyadari adanya kejanggalan upeti di salah satu perbatasan Zaira. Selain menemukan rincian yang tidak beres terkait penarikan upeti, keduanya sempat memergoki beberapa pihak tidak dikenal yang berusaha mengintimidasi masyarakat dan menimbulkan keresahan dengan membuat kekacauan di beberapa titik.
"Kita harus segera melaporkan ini ke raja," ucap Harun saat tengah menyisir lokasi.
"Rakyat dilanda ketakutan. Bisa-bisa mereka terangkul oleh kerajaan tetangga," sahut Vijay dengan nada khawatir.
"Yang aku khawatirkan adalah jika ini hanya siasat dan awal dari apa yang kita takutkan selama ini."
"Jika benar, ini masalah serius."
Keduanya sepakat untuk segera kembali ke istana. Beberapa tanda-tanda keberadaan para pelaku dan bukti yang mereka peroleh cukup sebagai syarat untuk meminta pertimbangan raja supaya menurunkan perintah untuk membawa tambahan pasukan demi membekukan sarang pelaku.
------------------------------to be continued
Hmmmmm masuk ke permasalahan bangsa dan negara gaess... sudah siap?
Buat yg mau baca duluan, di karyakarsa udah TAMAT yaaaaa!! Cus langsung ke link di bio 💖
KAMU SEDANG MEMBACA
RAJA, RATU & SELIMUT DEBU
Historical FictionSebagai raja muda yang ambisius, Musa berhasil memperoleh kemenangan atas tanah Graha. Kepulangan sang raja disambut penuh suka cita oleh segenap keluarga termasuk Shofiya, teman kecilnya yang kini telah menjadi ratunya. Bahagia, rindu yang terbayar...