BAB 25

4.3K 470 109
                                    

"Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu..." Musa mengulurkan tangan.

Tepat saat menyambut uluran tangan itu, Arinda dibawa berpindah ke suatu ruangan terang. Di sana kakaknya duduk bersama Thariq, keponakan kesayangan Arinda.

Mereka melambaikan tangan ke arahnya.

"Kakakmu baik-baik saja," bisik Musa di telinganya. Lalu kegelapan menelan Arinda.

Arinda terbangun. Matahari sudah bergeser dari titik tertinggi. Rupanya dia tertidur di siang hari. Ia pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya.

Setelah hari itu, hubungan Musa dan Arinda mengalami kemajuan. Ketika menyusuri koridor istana, Arinda mendapati beberapa pelayan berjajar di depan pintu kamar sang raja. Tanpa kikuk, ia pun berinisiatif untuk mengambil perannya sebagai seorang ratu.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Arinda.

"Salam, Ratu..., kami sedang menunggu Yang Mulia. Beliau belum menyentuh makanannya sejak tadi pagi."    

"Bukankah hari ini bukan jadwalnya berpuasa?" tanya Arinda memastikan.

"Benar, Ratu." Para pelayan menjawab sambil menganggukkan kepala.

Arinda melirik pintu kamar Musa kemudian menghela napas. "Biar aku yang membawanya ke dalam," ia mengusulkan. Kemudian mengambil baki berisi makanan dari salah satu pelayan.

Hati-hati, Arinda membuka pintu yang serta tirai yang membatasi kamar sang raja. Ia belum pernah masuk ke sini sebelumnya. Ruangan itu sedikit lebih luas dari kamarnya, juga tampak gelap. Detik berikutnya Arinda baru menyadari bahwa sinar matahari hanya masuk melalui lobang-lobang kecil ukiran jendela kayu yang sengaja tidak dibuka. Saat melangkah untuk masuk lebih jauh, tiba-tiba dirinya terdorong dan terkunci di dinding dengan sebuah pedang nyaris menyentuh lehernya.

Arinda mungkin mengira dirinya sudah mati kalau saja detik kemudian ia tidak mendengar suara dengan nada terkejut. "Ratu Arinda? Sedang apa kau di sini?"

Perlahan, Arinda berani membuka mata. Degup jantungnya masih terasa kencang sekali. "Apa kau selalu memperlakukan istrimu seperti ini?" tanya Arinda, matanya mengunci pandangan sosok di hadapannya.

Menyadari apa yang dilakukannya, Musa melepaskan pedangnya lantas memberi jarak di antara mereka. "Maafkan aku."

Sesaat, kecanggungan membungkus keduanya. Bayangan tentang pertemuan terakhir mereka di kamar Arinda memenuhi kepala keduanya.

Seperti biasa, Musa lebih dulu berhasil tersadar.

"Sejak pertama kali menatapmu, yang selalu kutemukan adalah tatapan kebencian. Tapi sekarang, kenapa aku justru melihat kegugupan dalam matamu, Ratu Arinda?"

Kalimat itu keluar dalam bentuk bisikan. Musa bahkan berada di antara kesadaran dan tidak ketika kalimat itu tiba-tiba saja meluncur dari lidahnya.

Arinda membuang muka. "Haruskah kita bertengkar lagi, Yang Mulia?" Arinda akhirnya bersuara setelah berhasil menjauhkan dirinya dengan Musa. Sungguh, seharusnya jantungnya sudah berdetak dengan normal setelah kejadian mengejutkan dengan pedang tadi. Tapi kenapa yang terjadi justru sebaliknya?

Musa melakukan hal yang sama dengan ratunya. Mundur beberapa jarak.

"Tentu saja tidak. Aku selalu terbuka untuk peluang apa pun."    

Arinda memandang Musa sewot. Ia meletakkan baki yang dibawanya kemudian berjalan untuk membuka jendela. Saat ia berbalik, berkat cahaya matahari yang sudah menemukan jalan untuk menerangi ruangan, Arinda mendapati wajah Musa begitu kusut.

"Apa yang terjadi dengan orang-orang di istana ini sebenarnya? Ratu Shofiya sakit dan kau malah mengurung diri di kamar?"

Musa memegangi kepalanya. "Aku hanya ingin fokus menyelesaikan beberapa permasalahan," ujar Musa. Enggan membahas kejadian semalam yang memang sengaja ia rahasiakan, begitu juga dengan para pengawal yang telah ia perintahkan untuk menutup mulut.

"Para pelayan bilang kau belum menyentuh makananmu sejak tadi pagi, jadi aku membawakan ini untukmu." Arinda menunjuk baki berisi makanan yang diletakkannya di atas meja.

Melihat Musa tidak bergeming, Arinda memutar bola matanya. Ia meraih kembali baki yang sudah diletakkannya dan mengambil sepotong roti di sana.

"Makanlah," balas Arinda.

"Ini hanya perasaanku saja, atau kau memang berubah menjadi cerewet?" Senyum tersemat di sudut bibir Musa, kemudian ia menyambut makanan yang diulurkan ratunya.

Arinda tersenyum. Untuk pertama kalinya di hadapan sang raja. Atau bahkan untuk pertama kali semenjak ia datang ke istana ini. Melihat Musa sudah bersedia memakan makanannya, Arinda pun meletakkan kembali baki itu dan hendak beranjak untuk keluar.

Namun sebelum itu, tangan Musa terulur untuk meraih lengannya. Menarik Arinda untuk ikut duduk di sampingnya.

"Temani aku menyantap makananku," katanya, yang kali ini tidak dibantah oleh Arinda.

****

Ingatan Musa melayang ke peristiwa hari itu. Ketika amarah menguasainya selepas kegagalannya ke dua kali dalam upaya penangkapkan para pemberontak yang terlibat dalam pertumpahan darah di Zaira beberapa tahun silam. Pertumpahan darah yang menewaskan Ayah, kakak, dan beberapa anggota kerajaan lain.

Seperti langit yang membentang tanpa batas, gelegak amarah Musa menyeruak tanpa batas. Ia menebas habis replika manusia kayu di arena dengan pedangnya. Serangannya membuta. Seakan mampu membelah siapa pun yang berani mengganggunya. Hingga tiba-tiba inderanya menangkap sesuatu yang mengarah padanya. Ditebasnya juga benda itu hingga terbelah dan isinya yang berwarna merah merekah jatuh berdamai dengan pasir tempat Musa berpijak.

Musa berhenti untuk melihat siapa yang berani melempar buah tin ke arahnya saat ia sedang berlatih. Di pinggir arena, tampak Shofiya sedang berjalan mendekat ke arahnya dengan satu tangan memegang baki berisi beraneka macam buah. Tangan Shofiya yang lain memain-mainkan buah tin.

"Para dayang bilang kau belum menyentuh makananmu sama sekali sejak pagi. Aku tahu kau sedang tidak berpuasa hari ini," ujar Shofiya kemudian meletakkan buah tin yang sedari tadi dimainkannya dan menggantinya dengan potongan mangga yang telah siap makan. Ia melangkah dan mendekatkan buah itu ke mulut Musa.

Musa tampak terpana. Sehingga perlu waktu baginya untuk menyadari apa yang sedang terjadi.

"Makanlah," ucap Shofiya lembut.

Masih menatap ratunya dengan tatapan penuh tanya, Musa membuka mulutnya dan menyambut suapan dari tangan Shofiya.

"Terima kasih." Musa nyaris berbisik. Raut wajahnya melunak, gejolak amarah dalam dadanya perlahan mereda. Matanya terus menatap Shofiya, seakan meminta penjelasan.

Shofiya tersenyum. Hari itu adalah satu tahun usia pernikahan mereka. Dan untuk pertama kalinya mereka bersikap sedikit dewasa. Tidak saling ejek dan berlomba-lomba memenangkan sesuatu.

"Aku sudah memenuhi beberapa kewajiban sebagai seorang ratu, bukan? Melihatmu berlatih pedang sudah sering kulakukan. Kini aku melayanimu meski hanya sesuap buah." Shofiya berucap bangga, ia hendak mengambil satu potong lagi. "Mau lagi? Kau harus menjaga kesehatanmu."

Musa tidak menjawab. Tangannya terulur untuk menyambut tangan Shofiya dan mengarahkannya ke mulut gadis itu. Meski sedikit terkejut, Shofiya menerima suapan suaminya.

"Temani aku menyantap makananku," ujar Musa, kemudian menanggalkan baju zirahnya. Ia melangkah keluar arena pedang sambil menggamit tangan Shofiya. Keduanya berjalan ke dalam istana dengan perasaan sedikit aneh namun menyenangkan yang berusaha disembunyikan.

Dan hari ini, hampir sama dengan hari itu, Musa melakukan hal yang sama dengan orang berbeda.

--------------------------- To be continued

De Javu dianya 😌😌
Kalo kangen bilang~

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang