Melihat sang raja memasuki kamar ratunya, Nadira segera beranjak keluar.
Setelah hanya tinggal berdua dengan Shofiya, Musa menghampiri gadis itu.
"Apa harimu menyenangkan?" tanya Musa. Itulah kalimat yang dipilihnya sebagai pemanasan. Sepanjang berjalan di lorong menuju ruangan ini, ia sibuk merangkai kalimat dan memikirkan awalan apa yang tepat untuk menciptakan suasana baik.
Bukannya berbalik untuk menghadap suaminya, Shofiya justru mendekat ke arah jendela, memandang bulan yang menggantung di langit.
"Tidak ada yang berbeda dengan hari-hariku sebelumnya di istana ini. Menata sikap, berusaha untuk tersenyum sepanjang hari, memikirkan perkara ini dan itu ...," Shofiya menghela napas kemudian memandang Musa yang kini berada di sampingnya. "Jadi, bukankah pertanyaan itu lebih cocok untukmu?"
Musa terdengar seperti mendesis, memaki diri sendiri. Wajahnya pias. Bahkan keadaan sudah tegang sebelum ia sampai ke inti pembicaraan.
"Kau benar," gumam Musa dengan suara mendadak serak.
Dipandanginya mata abu-abu Shofiya yang bersinar seolah memantulkan cahaya bulan. Shofiya memalingkan wajahnya. Ia memilih mengurung wajahnya dalam hijab.
"Seharusnya aku berhenti lebih awal. Pasti semua ini tidak akan terjadi. Keserakahan ibarat bumerang. Kau juga sering mendengarnya 'kan?"
Shofiya tidak menjawab.
"Menurutmu, kita ini dikutuk atau apa?" Meski sempat tercekat, suara itu akhirnya keluar dari mulut Musa.
"Kurasa seorang gadis di wilayah lain sedang berpikiran sama. Dia tidak ikut berperang, tapi justru dia yang tergores dan terluka. Apa yang lebih menyakitkan dari itu?" sahut Shofiya tak kalah getir.
"Jadi kau setuju?"
"Meski aku berkata tidak, itu tidak akan mengubah keputusanmu, kan?"
Kali ini Musa menunduk.
"Percayalah, ini sungguh sulit. Tapi kau memahami lebih dari siapapun bahwa aku harus melakukannya."
Shofiya tertawa sekilas. "Benar," balasnya. "Lalu untuk apa kau kemari? Bukankah keputusanmu sudah jelas? Untuk apa kau membuang waktu demi mempertanyakan pertanyaan yang sudah kau jawab sendiri?" Kini nada Shofiya mulai meninggi. Matanya pun mulai terasa memanas.
"Bukankah dari dulu seperti ini? Aku membutuhkanmu untuk yakin dengan keputusanku!" Kedua tangan Musa kini tergerak untuk merengkuh wajah ratunya.
"Begitu?" Shofiya mengempaskan tangan Musa. "Kukira ada alasan yang lebih manusiawi dari sekedar menjadikanku sebagai alat yang menguatkan setiap keputusanmu, ternyata aku salah."
Seketika hati Musa terasa sesak, ia tidak ingin pembicaraan ini berujung pada kesalahpahaman karena sikapnya. Direngkuhnya wajah Shofiya lagi, kali ini lebih lembut.
"Tidakkah kau mengerti? Aku ingin mendengar sendiri bahwa sebuah pernikahan tidak akan melukaimu lagi. Membawamu ke dalam keluarga kerajaan sudah cukup merenggut sebagian kebahagiaanmu, memberimu beban begitu berat ..., aku tidak ingin menambah semua itu. Itu sebabnya aku datang ke sini!"
Ada yang memberontak keluar dari mata Shofiya. Membuat mata abu-abu itu tampak seperti kilauan permata karena berkaca-kaca.
"Bukankah memang harus seperti itu?" katanya dengan suara gemetar. "Aku sudah berjanji untuk menjalaninya, jika itu memang untuk kebaikan Zaira. Entah ini takdir atau kutukan."
Shofiya melepaskan tangan Musa dari pipinya, kali ini perlahan. Kemudian mengusap air matanya seraya tersenyum.
"Lagipula aku hanya teman kecilmu, Musa. Bukankah sampai sekarang kau masih menganggapku seperti itu? Seorang teman tidak akan keberatan jika temannya memiliki teman baru, bahkan kekasih."
"Kau istriku," ucap Musa lirih, namun penuh penekanan.
"Yang kau nikahi karena tahta. Kau jangan lupa."
"Kau tahu bukan seperti itu kenyataannya," balas Musa lembut, matanya mengunci mata Shofiya supaya menatapnya sungguh-sungguh. Mendobrak semua pintu yang menutupi semua kejujuran atas perasaan gadis itu.
"Kau mau bilang kalau dasar pernikahan kita adalah cinta? Kita bahkan tidak mengerti apa arti pernikahan waktu itu, apalagi cinta," ucap Shofiya seraya meremas bagian depan busana yang dikenakan Musa.
Terbuka. Pintu yang menutupi perasaan ratunya terbuka sudah.
"Kau tidak akan bersikap seperti ini jika perasaan itu belum tumbuh di hatimu," ujar Musa setelah mampu memasuki pintu hati Shofiya lewat sorot matanya.
Shofiya terdiam. Menanyakan ulang kalimat itu pada dirinya sendiri.
"Perang itu, merubah kita. Kau terlalu pintar untuk tidak menyadarinya."
Untuk pertama kalinya, Shofiya kehabisan kata-kata. Dipejamkannya mata untuk beberapa detik.
"Sudahlah Yang Mulia, aku ratu termuda sepanjang sejarah kerajaan ini. Aku baik-baik saja, dan akan selalu mencoba untuk baik-baik saja. Pikirkan saja apa yang akan kau lakukan, jangan buat dia kecewa."
---------------------to be continued
KASIAN SHOFIYA :/
Gimana ya gaes... apakah kapal ini bakal karam?
KAMU SEDANG MEMBACA
RAJA, RATU & SELIMUT DEBU
Historical FictionSebagai raja muda yang ambisius, Musa berhasil memperoleh kemenangan atas tanah Graha. Kepulangan sang raja disambut penuh suka cita oleh segenap keluarga termasuk Shofiya, teman kecilnya yang kini telah menjadi ratunya. Bahagia, rindu yang terbayar...