BAB 20

4.2K 481 93
                                    

"Astaga! Ratu Arinda!" Seketika Musa berlari untuk meraih tubuh Arinda.

"Cepat panggil tabib!" teriaknya kepada kedua penjaga di luar kamar.

Diangkatnya dan dibaringkannya tubuh Arinda yang tampak lemah ke tempat tidur. Memeriksa suhu tubuh gadis itu serta mengamati seluruh tubuhnya kalau-kalau ada luka.

Ia takut gadis itu kembali melukai dirinya sendiri. Setelah memastikan bahwa tidak ada luka semacam sayatan atau lebam-lebam, Musa mengembuskan napas pertanda sedikit lega.

Pandangannya berganti mengedar ke sekeliling dan menemukan tumpukan makanan di bawah tempat tidur Arinda. Musa menggeram saat menyadari gadis itu sengaja tidak memakan hidangan yang disiapkan pelayan untuknya sedari pagi.

****

"Ratu Arinda lemas sekali hingga jatuh pingsan seperti ini, Yang Mulia. Beban berat di pikirannya atau suasana buruk di hatinya juga memperburuk kesehatannya," ucap Sarah, tabib kepercayaan istana. "Yang dibutuhkan Ratu adalah memulihkan tenaganya. Saya harap Yang Mulia bisa membujuknya untuk bersedia mengisi perutnya walau sedikit."

Musa mengembuskan napasnya yang terkesan berat. "Baiklah, terima kasih."

Setelah sang tabib undur diri, kembali hanya ada Musa dan Arinda di dalam ruangan sunyi itu. Arinda masih terbaring tak sadarkan diri. Wajahnya pucat pasi. Musa memandangi ratunya dengan perasaan campur aduk. Antara khawatir, dan sebagian besar menyalahkan dirinya sendiri.

Sejak pernikahan, tak pernah sekali pun Musa melihat istrinya itu tersenyum. Ia bertanya pada dirinya sendiri. Sebenci itukah sosok itu terhadapnya? Lagi-lagi ia menggeram frustasi saat dengungan-dengungan yang membenarkan kalimat itu mulai mendominasi kepalanya.

Musa menatap Arinda sekali lagi. Dengan dibalut keraguan, ia akhirnya memberanikan diri mengulurkan jarinya untuk meraih jemari Arinda. Dan saat kulit keduanya bersentuhan, Musa seperti mendapatkan dukungan dari alam atas perlakuannya itu.

Dieratkannya genggaman jemarinya terhadap sang ratu seraya mengusapnya lembut.

"Maafkan aku," ucap Musa lirih. "Aku tidak tahu kau begitu keras kepala, nekad, dan memiliki harga diri yang teramat tinggi."

Kini, tangannya tidak hanya menggenggam jemari Arinda, melainkan satu tangannya sudah diletakkan untuk membelai kepala Arinda lembut.

"Kukira aku bisa merangkulmu tanpa membuatmu terjerat. Kukira lukamu bisa dengan mudah terobati hanya dengan permata dan kebesaran status yang kau sandang sekarang."

Seulas senyum terbentuk di wajah Musa.

"Ternyata aku salah. Kau berbeda. Kau bahkan rela mati daripada melakukan apa yang tidak kau ingini."

Dari balik pintu, Ratu Shofiya yang langsung tergerak mengunjungi Ratu Arinda setelah mendengarnya jatuh sakit, tanpa sengaja mendengar semua kalimat raja untuk Ratu Arinda. Niatnya untuk memasuki ruangan itu pun ia urungkan. Ada sebuah letupan kecil di dadanya. Letupan yang membuatnya tak sanggup untuk berdiri lebih lama lagi di sana. Hingga akhirnya kakinya melangkah pergi. Menyelamatkan hatinya yang mendadak pilu.

****

Malam semakin larut. Kelopak mata Musa entah kenapa begitu lengket dan akhirnya membuatnya terpejam. Setelah agak lama, telinganya samar-samar mendengar rintihan. Namun, matanya begitu berat untuk menyibak gelap. Hingga rintihan itu semakin keras menuntut.

"Kenapa harus aku? Kenapa harus aku?" jeritan itu sontak membangunkan Musa yang sempat tertidur di tepi ranjang. "Pergi kau! Aku membencimu, Abqari Musa! Pergi!" jerit Ratu Arinda disertai tangis dalam tidurnya.

"Ratu Arinda, ssshhh ..., Ratu Arinda, tenanglah," ucap Musa lembut. "Kau akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja."

Tangan Musa membelai kepala Arinda. Mengusapnya lembut hingga gadis itu berhenti meronta dan kembali tenggelam dalam tidurnya.

Setelah Arinda tampak tidur dengan nyenyak, Musa memutuskan untuk keluar. Ia teringat janjinya terhadap Shofiya. Tanpa berlama-lama lagi, ia segera melangkahkan kakinya menuju tempat yang mereka janjikan.

Sesampainya di sana, ia merutuki dirinya sendiri. Bodoh sekali jika ia mengira Shofiya masih menunggunya. Ia berlari lagi. Kali ini menuju kamar Shofiya, berharap gadis itu memakluminya.

"Kukira kau akan bermalam di kamar ratumu yang lain," ucap Shofiya ketika menyadari Musa berasa memasuki kamarnya.

"Um, aku teringat dengan janji kita untuk bertemu." Musa sedikit menggaruk kepalanya.

"Kapan kau mengingatnya? Satu jam yang lalu? Semenit yang lalu? Kau tidak pernah terlambat sebelumnya, Yang Mulia."

"Kenapa nada bicaramu begitu? Dia jatuh sakit, Shofiya," ujar Musa dengan deru napas yang masih kentara sekali setelah berlarian mengejar waktu.

"Benar. Dia yang bagimu berbeda, kenapa tidak kau selesaikan saja urusanmu dengannya sampai matahari terbit?" balas Shofiya dingin.

Kedua alis Musa bertaut. Ucapan itu... pikir Musa. Shofiya mendengarnya bicara di kamar Arinda. "Kau ada di sana?"

Shofiya menoleh. "Hanya sebentar. Karena aku tidak ingin mengganggu kalian."

"Kau tahu, aku selalu bilang kalau aku menyukai setiap kali kau cemburu. Tapi kali ini, aku seperti tidak mengenalmu. Mungkin lebih baik kau juga istirahat seperti Ratu Arinda," ucap Musa kemudian berbalik menuju pintu keluar.

Mendengar kalimat itu, Shofiya segera bangkit dan menghambur memeluk Musa dari belakang.

"Iya, aku cemburu! Aku cemburu melihatmu begitu dekat dengan wanita yang bahkan membencimu!" Shofiya mengeratkan pelukannya, wajahnya ia tenggelamkan di punggung suaminya.

"Aku marah pada diriku sendiri karena tidak bisa sepenuhnya ikhlas membiarkanmu membagi waktu dan perhatianmu kepada yang lain. Karena itu jangan pergi," pintanya lirih.

Sementara itu, jantung Musa berdebar tak beraturan. Dengan degup jantung yang juga selaras dengan Shofiya, ia tautkan jemarinya ke tangan Shofiya yang melingkar di tubuhnya.

Musa berbalik menatap gadis bermata abu-abu itu. Dihapusnya air mata yang membasahi pipi Shofiya. Kemudian dengan gerakan lembut, diraihnya dagu Shofiya dan berakhir dengan sebuah kecupan di bibir ranum gadis itu.

Malam itu, sekat dan jarak antara keduanya musnah sudah. Segala batas yang bernaung di antara keduanya lenyap sudah. Tak bersisa. Kini, keduanya sepenuhnya menyatu, saling memberi dan memiliki satu sama lain. Sepenuhnya.

----------------------to be continued

Uwaaaaa gabisa ini gabisa.
Makin bingung tim siapa 🤣🤣

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang