BAB 11

4.8K 548 25
                                    

Raja Zaira itu kemudian berlutut. Tangannya meraih mangkuk berisi air dari para dayang kemudian meraih kaki Arinda.

Arinda merasakan dirinya seperti tersengat saking kagetnya. Karena tidak yakin dengan apa yang dilakukan sang raja, ia pun berusaha menahan kakinya agar tidak mengikuti tangan Musa yang kini mengenggam pergelangan kakinya.

Tahu bahwa istrinya ragu dengan apa yang dilakukannya, Musa akhirnya bersuara. "Tenangkan dirimu, ikuti saja aku."

Arinda mencoba tenang dan menuruti ke mana Musa membimbing telapak kakinya.

Arinda merasakan dingin air menyentuh ujung jari kakinya. Berlanjut hingga kakinya terbasuh oleh air dalam mangkuk itu.

Tanpa disadari, getaran dari dadanya ternyata cukup kuat untuk menimbulkan gemetar di ujung kakinya. Sang raja membasuh kakinya dengan lembut sebelum akhirnya salah satu dayang mengulurkan kain untuk mengusap kaki sang ratu.

Sang raja pun bangkit dan berdiri di samping Arinda seraya tersenyum kepada para dayang sebagai ungkapan terima kasih.

"Itu adalah penyambutan bagi keluarga raja yang belum pernah menginjakkan kaki di Taryan," bisik Hulya dari belakang.

Arinda ingin bertanya apakah ritual itu memang harus dilakukan oleh seorang raja, atau Musa menyelamatkannya dari rasa malu karena tidak tahu tentang ritual umum itu. Namun, gadis itu mengurungkan niatnya karena takut terdengar oleh Musa.

Di balai pertemuan, Qasim, gubernur Taryan memberikan salam pada raja beserta keluarganya.

"Sungguh kehormatan bagi kami untuk menerima kedatangan Anda sekeluarga, Yang Mulia," ucap Qasim.

Musa tersenyum. "Aku akan selalu menyempatkan berkunjung kemari."

"Makam Yang Mulia Raja Zahirrudin selalu ramai peziarah, begitu pula arus perdagangan di kota ini. Semua kembali normal dalam kurun waktu empat tahun, seolah perpecahan politik saat itu tidak pernah terjadi,"

Keduanya pun berbincang sebelum akhirnya Azzam, keponakan sang gubernur bergabung. Usianya dua tahun lebih muda dari Musa. Selain tampan, ia juga termasuk salah satu ksatria terbaik yang dimiliki Zaira.

Di usianya yang belia, ia sudah mewakili keluarganya untuk ikut dalam barisan depan pasukan saat perang besar beberapa waktu lalu.

Ramah tamah itu berlanjut hingga Musa memutuskan untuk langsung berkunjung ke makam.

Di sisi lain, Hulya sudah melepas rindunya dengan Aaya, saudari kembar Azzam. Keduanya pun berjalan bersisian di belakang Musa dan Arinda menuju makam.

"Aku tahu kau membenciku, juga Zaira. Tapi tolong hormati leluhurku." Musa berbisik pelan ketika membimbing Ratu Arinda menaiki dua anak tangga menuju makam.

"Kau bicara seolah aku berasal kalangan tidak tahu aturan yang akan mengacak-acak makam leluhurmu," sahut Arinda yang langsung ditanggapi lirikan tajam oleh Musa.

"Aku memperingatkanmu, bukan menyuruhmu bicara," desis Musa.

Arinda menatap Musa penuh kebencian. Berpikir bahwa inikah percakapan pertama mereka sebagai suami istri. Dan betapa angkuhnya lelaki di hadapannya itu sampai-sampai untuk bicara saja, Arinda harus meminta izin darinya terlebih dahulu.

Tanpa bicara lagi, Musa memberikan sekantung kecil bunga yang disiapkan untuk para peziarah ke tangan Arinda, kemudian berlutut di samping makam.

Arinda mengikutinya. Begitu pula saat Musa mengangkat tangan untuk membaca untaian doa.

Bagi Arinda, Musa tidak terlalu menjengkelkan ketika dalam keadaan diam seperti itu. Lewat jarak yang begitu dekat dengan raja, Arinda baru menyadari bahwa Musa memiliki bekas luka di balik telinganya. Sebuah luka hasil goresan benda tajam. Sebuah luka yang menjadi saksi perjalanan hidup lelaki itu.

Pandangan Arinda turun ke rahang Musa yang ternyata begitu tajam dan kokoh, seolah mampu membelah bebatuan cadas. Satu titik yang membedakan wajah Musa dengan ibu suri selain matanya. Mata Musa yang berwarna hitam dan tajam, menjorok ke dalam dengan alis terukir indah yang sedikit tebal. Sementara mata milik sang ibu cokelat dan meneduhkan.

Musa mengakhiri doanya kemudian menaburkan bunga di beberapa nisan yang langsung diikuti oleh Arinda, Hulya, dan Aaya di belakangnya. Sepasang raja dan ratu itu kembali membisu ketika meninggalkan makam.

Sesampainya di pusat pemerintahan kota Taryan, tempat keluarga raja singgah di kota itu, Hulya meraih lengan Musa untuk meminta perhatian.

Ketika kakaknya menoleh, dengan senyum cerianya ia mulai merayu kakaknya.

"Aku akan berkeliling kota bersama Aaya, bolehkan?" Hulya memasang senyum paling manis.

Musa mengedarkan matanya ke sekeliling dan menemukan sosok Azzam berdiri di dekat pilar, tak jauh darinya.

"Azzam, kau tidak keberatan menemani mereka berdua?" tanya Musa.

Azzam menundukkan kepala lantas menjawab. "Tentu saja tidak, Yang Mulia."

Musa membalas dengan senyum wibawa kemudian kembali menatap adiknya.

"Jangan merepotkan mereka berdua, Hulya ..., mereka bukan kakakkmu Shofiya yang boleh kau mintai ini itu sesuka hatimu," ucap Musa lembut.

Hulya memukul pelan lengan kakakknya. "Bisa tidak, sekali saja tidak mempermalukanku di depan teman-temanku?" gerutu Hulya.

Sepucuk tawa terlepas dari mulut sang raja. "Sayangnya itu sulit sekali," balas Musa sembari mengusap kepala adiknya.

Matanya kemudian berpindah menatap Azzam. "Tolong jaga adikku."

"Baik, Yang Mulia," jawab Azzam disertai anggukan.

Di samping Musa, diam-diam Arinda memperhatikan sikap kedua kakak beradik itu tanpa ikut bicara. Berbeda dengan Musa yang terpatri sebagai pemimpin ganas di memorinya, di dalam keluarga, Musa sungguh sosok penyayang. Tidak tersisa raut ganas yang menaunginya selama berperang.

Namun, tentu saja kelembutan itu tidak dengan mudah melunakkan hati seorang Arinda yang terluka.

----------------------------------to be continued

Belom-belom udah berantem aja nih Raja sama Ratu alias pengantin baru...

Katanya bulan madu, tapi kok pada maen sinis-sinisan wkwk.

Gimana ya kelanjutan momen mereka di Taryan? Apa bakal terjadi sesuatu??? Hmmm

Buat yang nggak sabar, bisa baca duluan di karyakarsa ya. Udah sampe BAB 18 di sana 😘

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang