BAB 9

4.9K 537 21
                                    

Musa mendekat untuk mencekal lengan Shofiya.

"Kau sengaja mengatur ini semua?" bisik Musa.

"Anggap saja ini hadiah dariku untuk kalian."

"Oh ya?" Musa nyaris protes kalau saja ide untuk menggoda ratunya tidak menghentikannya. Senyumnya seketika membentuk seringaian. "Tampaknya ini akan jadi bulan madu yang menyenangkan. Bukan begitu?"

"Terserah kau saja. Bukan urusanku," ucap Shofiya dingin.

"Kau masih marah padaku?"

"Aku tidak marah padamu. Untuk apa aku marah?" balas Shofiya, masih sewot.

Kali ini Musa tidak bicara lagi. Ia hanya menatap teman kecilnya itu begitu lekat. Dipandangi begitu lama oleh Musa, membuat Shofiya kikuk dan salah tingkah. Diam-diam Musa bersorak dalam hati.

"Kau ini ..., sudah sana berangkat!" desis Shofiya cepat-cepat memalingkan wajah.

"Biar aku simpulkan. Kau ingin marah kepadaku. Tapi kau tidak bisa ..."

"Kenapa tidak bisa?" potong Shofiya.

"Karena kau ..., ah tidak jadi." Musa tidak menyelesaikan kalimatnya.

Shofiya langsung menginjak kaki sang raja, kemudian mengangkat gaunnya untuk melangkah menjauh.

Namun sebelum itu terjadi, Musa menahannya dan lagi-lagi membisikkan sesuatu padanya. "Kau lucu sekali kalau sedang cemburu."

"Aku tidak cemburu!" kata Shofiya berkeras. Rahangnya ikut mengeras menahan wibawanya.

"Tidak ada gunanya berbohong pada orang yang tumbuh besar bersamamu, Ratu Shofiya. Aku tahu dari awal kau marah karena itu, tapi bagaimana pun kau tidak bisa membenciku. Karena kau mencintaiku."

"Itu adalah kesimpulan paling konyol yang pernah kudengar." Shofiya memutar bola matanya.

"Aku anggap itu sebagai pernyataan setuju."

"Musa, sepertinya kau harus diperiksa oleh tabib sebelum berangkat. Karena aku khawatir ada yang salah dengan kepalamu." Shofiya menyentuh dahi Musa.

Ketika Shofiya akan menurunkan tangannya, Musa justru menahan tangan istrinya dan ia alihkan ke pipinya. "Terima kasih sudah kembali bersedia bicara dan tertawa denganku. Kau tahu aku sangat kesepian jika kau bersikap dingin seperti kemarin."

Kini Musa tidak hanya mengenggam jemari Shofiya, tapi juga mengusapnya lembut. "Terima kasih juga sudah mengkhawatirkanku ..., dulu, sekarang, juga nanti."

Shofiya membenarkan kalimat Musa dalam hati. Sejak kecil keduanya sudah saling melindungi. Ini pertama kalinya Shofiya membiarkan orang lain menempati posisinya, orang yang bahkan sudah mencetuskan perang terhadap teman hidupnya.

Selaras dengan ketakutan yang mulai menyergap, tangan Shofiya sekarang tak hanya diam menerima perlakuan Musa. Tangan itu sudah bergerak mengusap lembut wajah suaminya.

"Aku tidak bisa mendampingimu, jadi ..., bernjanjilah untuk lebih waspada," ucap Shofiya.

Sang raja meremas lembut jemari sang ratu. Meredakan kekhawatiran yang mengalir melalui tautan jemari itu dengan satu kalimat meyakinkan.

"Tentu. Jaga dirimu selama aku pergi. Aku segera kembali." Kemudian, dengan gerakan cepat ..., menyingkirkan segala keraguan, Musa mengecup kening Shofiya.

Shofiya tidak menyangka akan mendapatkan kecupan manis itu dari Musa. Sesuatu menyengat dadanya, membuat sesuatu di dalamnya berdegup kencang. Bahkan ia sampai berpikir untuk menahan napas agar Musa tidak bisa mendengar segala keributan dalam dada juga napasnya.

Detik kemudian, matanya menangkap senyum di bibir Musa. Kali ini gadis itu benar-benar merona, sampai-sampai ia merasa perlu menutupkan sutra yang sedari tadi menaungi rambutnya, untuk lebih menutupi wajahnya.

Di hadapannya, Musa sebenarnya juga terkejut dengan keinginannya yang meledak begitu saja, yang tanpa ia rencanakan dan sempat ia pikirkan membuatnya meraih kepala istrinya dan mengecupnya. Di luar itu semua, ia bersyukur karena melihat reaksi Shofiya yang tampak tersipu. Ia bertanya-tanya, kenapa melihat hal itu begitu membahagiakan baginya.

****

Langit enggan menampakkan perhiasannya. Sejak memangsa permata langit bernama matahari, kegelapan seolah ingin memenangkan hari secara mutlak.

Tidak ada yang diberinya kesempatan untuk menampakkan diri. Bahkan bulan pun ikut bersembunyi.

Di bawahnya, di tanah berselimut debu yang kali ini gagal mendapatkan sentuhan cahaya bulan, sesosok pemuda sengaja berkawan dengan gelap dan seolah sepakat dengan gelap supaya memangsa hatinya. Penuh. Tak tersisa.

Sebuah suara dari seseorang yang selama bertahun-tahun ini menemaninya, memecah keheningan.

"Tampaknya ada racun di dalam sana. Kau yakin tidak ingin aku menghubungi mereka? Kita bisa memanfaatkannya," begitu suara itu menyapanya. Ia tahu siapa yang bicara. Ahmet, seseorang yang meski tidak pernah tulus menyelamatkannya, tapi kenyataannya, dialah satu-satunya manusia yang peduli terhadapnya kala itu, juga sekarang.

Hasan, sosok gagah yang tengah berdiri di hadapan kolam yang memantulkan wajahnya yang menawan, menghentikan renungannya. "Memanfaatkan sudah pasti. Tapi tidak dengan menghubungi mereka. Aku tidak ingin ada orang lain campur tangan dengan permainanku," katanya.

"Dia dikelilingi panglima dan mata-mata yang terampil. Dan jangan lupakan ratunya ..., kalian belajar dari guru yang sama. Ada dua kekuatan yang setara denganmu di sana," balas Ahmet.

Suaranya jelas menyiratkan keinginan untuk merekrut kubu sebanyak mungkin demi kemenangannya kelak. Mencoba memberi pilihan kepada Hasan yang ia pahami ingin bermain dengan balutan dendam dan benci yang meski memberikan jutaan kekuatan, terkadang membutakan.

Bukannya tidak yakin dengan kekuatan mereka berdua, tapi Ahmet lebih tidak dikuasai oleh kemarahan dalam hal ini. Sehingga ia hanya ingin peluang kemenangan bertambah.

"Sehebat apapun mereka ..., mereka masih manusia," ucap Hasan dingin. Sedingin udara malam yang menusuk tulang.

Satu sisi bibir Ahmet terangkat membentuk senyuman. "Aku lupa kalau yang sedang kuajak bicara adalah iblis berwujud manusia," sahutnya.

Hasan terdiam. Matanya membidik objek dalam kolam yang sedari tadi tampak berenang bebas menarik perhatiannya. Sejurus kemudian, bilah pedang tertarik keluar dan menancap keras ke dalam kolam. Ikan kecil malang dalam kolam itu pun mengakhiri tariannya yang terlalu menarik perhatian sang iblis.

"Tarian bahagia atas kemenangan itu tidak akan lama," gumam Hasan.

Bagaimana pun, Ahmet tahu betapa mematikannya makhluk yang berada di kubunya saat ini.

Sejak awal, ia sudah menetapkan Hasan sebagai pemimpin permainan ini. Karenanya, ia tidak akan menarik kesepakatannya dan memilih menerima keputusan pemuda itu.

"Kau unggul karena mereka tidak mengenali dirimu yang sekarang, pangeran tanpa mahkota," ucap Ahmet mengakhiri percakapan malam itu.

-------------------------------to be continued

Gimana? Lanjuut???

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang