BAB 22

4.2K 478 103
                                    

Keesokan harinya, ketika hangat mentari kembali menyentuhnya, Musa berharap kejadian yang baru saja ia alami hanya mimpi buruk. Namun, sosok ibu suri bersama para pelayan yang berjalan sambil membawa makanan dan obat menuju kamar ratu utamanya, menyadarkannya bahwa semua yang terjadi kemarin adalah nyata.

Semua orang tahu ratunya mengalami keguguran. Tapi tak ada yang tahu makna sebenarnya di balik kejadian tersebut.

Untuk pertama kalinya, Musa berterima kasih pada mahkotanya. Logam mulia itu bisa menyokongnya untuk berdiri, membawa figurnya sebagai Yang Mulia Abqari Musa. Bukan sebagai Musa rapuh yang merupakan suami, maupun teman hidup dari Shofiya. Yang artinya, tidak ada yang sanggup melukai hatinya yang sekokoh perisai jika ia menggunakan mahkota dan berada di atas singgahsana.

Dengan langkah tegap, Musa melangkah menuju ruang sidang. Bersiap mengadili beberapa perkara dan memberikan hukuman kepada pelanggar. Termasuk kepada Ali yang sudah memenuhi panggilan ke istana.

Seluruh hadirin berdiri dang membungkukkan badan ketika sanag raja memasuki ruangan. Beberapa yang hadir adalah kerabat korban, kerabat tersangka, maupun para menteri dan penasihat.

"Saudara Ghifary! Kejahatan Pencurian. Diketahui telah melakukan pencurian sebanyak dua kali di kebun milik sang majikan." Salah seorang petugas membacakan tuntutan dengan lantang.

Musa menatap Abdul Ghifary yang tengah berdiri di hadapannya.

"Ghifary, sampaikan pembelaanmu!" Musa mengangkat satu tangannya, mengisyaratkan Ghifary untuk bicara.

Ghifary menundukkan kepala, meremas buku-buku jarinya. "Itu benar, Yang Mulia. Saya telah mencuri," ucapnya dengan nada putus asa.

"Bisa kau sebutkan alasan mengapa engkau mencuri?" tanya Musa.

Sambil menatap raja, Ghifary kembali bersuara. Kata demi kata, ia mengungkapkan apa yang ingin diketahui raja. Alasan mengapa ia terpaksa mencuri.

Setelah mendengar penuturan Ghifary, Musa menghela napasnya. Mencoba memutuskan seadil mungkin.

"Seperti yang kau tahu, apapun alasannya mencuri tetaplah sebuah pelanggaran hukum di Zaira. Kau dikenai ayat tiga puluh satu tentang pencurian dengan hukuman kurungan selama delapan bulan." Musa berhenti sejenak. Menatap wajah pasrah Ghifay. Mempertimbangkan alasan keterpaksaan Ghifary melakukan pelanggaran. "Soal gembalamu yang terkena penyakit, kerajaan akan mengirimkan gantinya."

Mata Ghifary melebar dipenuhi cahaya.

"Terima kasih, Yang Mulia! Terima kasih!" seru Ghifary sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.

Ia terus mengucap syukur kepada Tuhan bahkan ketika pengawal sudah menggiringnya menuju tahanan.

Selanjutnya, persidangan dibuat memanas karena beberapa perkara terkait perzinaan. Jantung Musa bahkan berdebar kencang sejak perkara pertama kali dibacakan. Tidak satu pun dari teduga bersalah ia beri kesempatan untuk membela diri.

"Kenapa masih kalian bawa kemari? Apa putusan yang kalian harapkan untuk pezina yang tertangkap basah?" geram Musa. Ia langsung menjatuhkan hukuman 100 kali cambukan tanpa kecuali. Bahkan jika ada yang berusaha membela, ia akan menambah jumlah cambukan secara berangsur.

"Ada apa dengan Yang Mulia? Kenapa ia terlihat begitu marah?" gumam salah satu pihak istana yang menyaksikan persidangan.

Meski banyak keganjilan atas sikap raja, persidangan terus berlangsung. Ketika seorang tersangka terakhir memasuki ruangan, Musa langsung memerintahkan prajurit untuk menggiringnya supaya dieksekusi mati.

Seketika beberapa tetua dan para pemegang posisi penting di istana berdiri, yang langsung disambut uluran mata pedang oleh prajurit yang berdiri di berbagai sisi.

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang