BAB 27

5.6K 566 117
                                    

Assalamu'alaikum, Yang Mulia ...,

Saat kau membaca surat ini, pastilah aku sudah tidak berada di istana. Tadinya aku berniat pamit kepadamu secara langsung. Tapi aku tahu, pertemuan kita hanya akan membawa sakit pada hati masing-masing. Jadi aku memutuskan untuk menitipkan surat ini pada temanku, Nadira. Jadi kau bisa mempercayainya.

Di sini aku ingin berbicara sebagai Shofiya, istrimu, kalau kau masih menganggapku demikian. Bukan sebagai ratu dari Zaira. Setelah berita yang tidak pernah bisa kupercaya itu, duniaku terasa gelap. Aku kehilangan sesuatu yang menjadi kekuatanku di antara wanita lain, sesuatu yang mencakup segalanya, yaitu kepercayaanmu. Bahkan mungkin harapan yang baru saja bersemi di antara kita juga ikut hilang.

Kehilangan ini begitu menyiksa. Dan berada pada puncaknya saat kau berkata tidak akan mencintai aku yang sekarang. Tahukah kau, suamiku? Kalimat itu punya dua sisi. Layaknya dua mata pisau. Membahagiakan karena akhirnya aku tahu bahwa kau mencintaiku, atau pernah mencintaiku. Kau tidak pernah menyatakan itu sebelumnya. Sampai akhirnya melalui kekecewaanmu, kau menyatakannya sekaligus mematikannya.

Saat itulah aku menyadari bahwa aku benar-benar telah mencintaimu sebagai suamiku. Dan memang begitulah adanya. Aku hanya menyesal tidak menunjukkannya lebih awal. Tidak membiarkanmu memperoleh hakmu sebagai suami atas diriku seutuhnya sampai hari itu. Diriku yang sama sekali kujaga dari orang lain hanya untukmu.

Aku bukan Aisyah binti Abu Bakar yang kesuciannya dibuktikan langsung oleh Allah melalui firman-Nya. Bukan pula Maryam yang tak berdosa. Aku hanya Shofiya, putri dari seorang panglima yang bersumpah untuk mendampingi raja. Aku tidak akan bicara atas kesucianku di sini, karena aku takut kau muak dan melenyapkan tulisan ini sebelum membacanya sampai tuntas.

Yang ingin kusampaikan adalah ..., jika ini adalah ujian, maafkan aku karena belum bisa segera menjawabnya seperti biasa. Shofiya-mu yang kau anggap pintar itu bisa saja gagal pada satu dari banyak ujian yang dilewatinya.

Tapi jika ini adalah hukuman atas dosaku, maka aku akan menjalaninya dengan memulai semuanya dari awal. Dari seseorang yang menyatukan kita dulu. Ayahku.

Karenanya, aku pergi untuk mengunjungi pamanku, juga makam ayahku. Aku akan kembali, jika aku sudah menemukan jawaban dari ujian maupun hukuman ini. Atau jika kau yang lebih dulu menemukan jawabannya. Jadi, tolong jangan titahkan prajuritmu untuk menyusulku.

Semoga Allah selalu merahmati dan melindungimu.

Dari teman kecilmu, Shofiya

Sesaat, tubuh Musa seolah mati rasa. Ia terlempar dalam kotak bawah sadarnya yang terus berdengung dan berteriak-teriak menyalahkan sikapnya. Apa yang sudah ia lakukan pada gadisnya? Hingga gadisnya, belahan jiwanya, rela menerjang malam demi menjauh darinya. Menantang bahaya di luar sana lagi-lagi hanya untuk menjauh darinya.

"Aku akan menyusulnya," desis Musa tanpa menyembunyikan getaran dalam suaranya.

"Menyusulnya untuk memarahinya lagi?" Hulya menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca.

"Apa yang kau harapkan? Dia pergi tanpa mahramnya. Melewati satu malam di luar rumah sendirian, itu dilarang dalam agama!" Musa menatap adiknya frustasi.

Hulya dengan berani mengangkat wajahnya di hadapan kakak sekaligus rajanya.

"Jika ingin menemuinya, setidaknya lepaskan dulu amarah yang menaungimu akhir-akhir ini dan cobalah mendengarkannya."

Hulya meraih pergelangan tangan Musa. Nadanya yang semula memohon berubah menjadi nada penuh keyakinan.

"Aku mengenal Kak Shofiya jauh sebelum kalian sah menjadi suami istri, aku pula yang menemaninya saat dia dengan setia mendoakanmu dan berpuasa selama kau berada medan perang. Jadi aku berani bersumpah, apa pun yang kau ragukan darinya adalah salah," sambungnya.

"Itu masalahku dengannya, Hulya. Kau tidak perlu mengkhawatirkan Shofiya di tangan suaminya sendiri. Dia istriku, aku berhak mengambil keputusan atasnya." Musa berkata dengan tegas. Tangannya meremas surat Shofiya dan rahangnya mengatup rapat-rapat.

Sang raja pun berjalan dengan langkah-langkah panjang untuk menunaikan kewajiban utamanya umat muslim. Ia memimpin sholat dengan khusyuk sebelum akhirnya selepas sholat berjamaah, dua mata-mata yang diutusya, Harun dan Vijay, tiba di istana dan dengan tergesa ingin melaporkan hal penting kepadanya.

Dengan perasaan gundah, Musa akhirnya menangguhkan rencana keberangkatannya untuk menyusul ratunya. Ia meminta Fawad, saudara Shofiya dari istri ke-dua ayahnya, untuk menyusul Shofiya.

"Katakan padanya aku memberinya waktu dua hari dan selebihnya ia sudah harus kembali bersamamu," ujar Musa kepada Fawad.

Dengan anggukan mantab tanda bersedia menunaikan tugasnya, Fawad menyampaikan salam takzimnya yang langsung dibalas oleh Musa. Ia pun memacu kuda hitam tercepat untuk menyusul sang ratu.

****

Hulya mulai menggantikan Shofiya untuk memantau dan menerima laporan dari ketua pelayan juga kepala dapur. Ia berusaha lebih teliti dari Shofiya karena tujuannya adalah mencari celah para pengurus puri wanita.

Dibantu Nadira dan beberapa orang kepercayaannya, Hulya mencoba meneliti kamar Ratu Shofiya, juga kamar Ratu Arinda dengan seizin sang ratu. Kamar pelayan pun tak luput dari pemeriksaannya, terutama pelayan baru.

"Apa dia termasuk dalam rombongan pelayan yang dibawa Mawra kemari?" tanya Hulya pada Nadira ketika salah seorang pelayan baru dengan cekatan membantu ketua pelayan untuk menyiapkan keperluan Ratu Arinda.

"Benar, Putri," jawab Nadira.

"Apa dia pernah melayani Ratu Shofiya?" tanya Hulya tanpa melepas pandangannya dari pelayan yang menarik perhatiannya.

"Aku tidak terlalu ingat, Putri. Tapi dia memang diserahi tanggung jawab membawa hidangan untuk Ratu selama Hindun sakit." Nadira berusaha mengingat.

"Aku ingin dia melayaniku malam nanti. Dan kau, awasi setiap gerak-gerik pelayan baru di sini. Setidaknya aku menangkap tiga pelayan dengan sikap mencurigakan." Hulya berkata diselingi tawa untuk menghindari kecurigaan atas apa yang mereka bahas.

"Oh iya, aku juga ingin bertemu tabib Kak Shofiya tanpa sepengetahuan siapa pun. Secepatnya," bisik Hulya.

****

"Pujaan hatimu ternyata lebih mengesankan daripada yang kuduga." Ahmet berkata sambil terkekeh setelah membaca lipatan kecil berisi sandi penting dari mata-matanya.

Hasan yang saat itu berlatih pedang, seketika menghentikan gerakannya demi mendengar celotehan Ahmet.

"Gadismu itu ..., kau bisa mendapatkannya sekarang juga kalau kau mau. Bahkan tanpa pertumpahan darah sekalipun."

"Apa maksudmu?" tanya Hasan.

Ahmet melemparkan benda di tangannya yang langsung disambut oleh Hasan. Pangeran itu segera membukanya dan membaca sandi yang setelah diartikan ternyata menyampaikan sebuah pesan mengenai keadaan istana Zaira.

Mata Hasan sedikit melebar, namun keterkejutannya tidak terlalu besar. Karena ia tahu betul bagaimana kemarahan Musa saat ia menyelinap ke kamar Shofiya tempo hari. Ia juga tahu betul bagaimana sifat nekad Shofiya. Tanpa sadar, segaris senyum langka terbentuk di sudut bibirnya.

"Aku sendiri yang akan menjemputnya," ujar Hasan kemudian melemparkan pesan itu ke tanah dan membuatnya bersatu dengan pasir di bawahnya untuk menghilangkan jejak.

"Kendali ada di tanganmu, Pangeran," balas Ahmet tanpa bisa menahan seringaiannya.

----------------------------------to be continued

Hmmm daripada bentrok tim Shofiya atau Arinda, author tim Hulya aja deh 😁😁

Komen yg banyak buat next !!!

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang