BAB 3

6.5K 707 47
                                    

Dalam sebuah perjuangan, sering kali yang lebih terlihat adalah hasilnya. Dengan Zaira meraih kemenangan, suka cita lah yang lebih dominan dibanding rasa sedih dan duka dari gugurnya beberapa anggota pasukan.

Kembalinya sang raja dengan gagah, juga menutupi perihnya luka yang tersembunyi di dalam.

Shofiya memasuki kamar Musa. Dilihatnya Musa sedang melepas baju zirahnya. Mata Shofiya langsung terpusat pada luka sayatan di bahu suaminya.

"Duduk dan diam lah. Aku akan merawat luka itu," ucap Shofiya, seraya meletakkan perlengkapan bersisi racikan obat yang dia bawa.

Musa tidak bersuara. Diamatinya Shofiya yang tampak khawatir dan sedikit.... gugup? Musa menerka.

"Bagaimana kabarmu?"

"Itu seharusnya kalimatku. Bagaimana keadaanmu selama ini di sana? Bertahan di padang pasir... apakah kau cukup air? Kedinginan di malam hari? Apa kau sempat sakit...."

"Dengan mendengarmu mengoceh seperti ini, aku tahu kau hidup dengan baik selama aku tidak di sini."

Shofiya menghentikan gerakan tangannya. Matanya menatap Musa.

"Tidak pernah ada yang baik-baik saja selama kau tidak ada."

Musa tersenyum tipis. "Maafkan aku. Seharusnya aku pulang lebih cepat."

Shofiya tidak bersuara. Ia terus merawat luka di bahu Musa, hingga akhirnya matanya memanas ketika menyadari betapa dalamnya luka itu.

"Siapa yang melakukan ini?" Shofiya meraba gurat luka itu.

"Entahlah. Kurasa pimpinan mereka. Rasa sakit ini tidak akan terasa saat berada di medan perang."

Shofiya terus menatap luka itu. Membayangkan sakit yang harus dilalui Musa. Air matanya menetes. Dan sebuah gagasan yang bertolak belakang dengan visinya selama ini, tercetus.

"Bisakah kau berhenti?"

"Hm?"

"Kau sudah melakukan ekspansi ke banyak wilayah. Bukankah ini sudah cukup? Aku... aku tidak ingin kau terluka seperti ini."

Musa meraih wajah Shofiya.

"Bukankah kau yang paling tau mengapa aku harus melakukan ini? Kau yang paling mendukung hal ini..."

"Tapi..."

"Aku tidak akan membiarkan siapapun melukaiku hingga membuat kita berpisah. Tidak ada yang perlu kau takutkan. Kita... tidak akan berpisah seperti yang pernah terjadi pada keluarga kita dulu. Itu janjiku."

Shofiya masih menangis, lantas Musa bergerak untuk memeluknya. Dan entah mengapa, dari sekian banyak pelukan yang pernah mereka bagi sejak kecil, pelukan ini terasa berbeda.

Jantung mereka berdetak lebih cepat dibanding sebelumnya.

****

Seolah ikut bersuka cita atas kemenangan pasukan Zaira, langit cerah menaungi Zaira sepanjang hari.

Di dalam istana, seperti kebiasaan raja-raja di masa lalu, sebagai wujud syukur dan perayaan atas kemenangan yang telah diraih, digelar perayaan besar atas takhluknya wilayah terakhir yang menutup peperangan panjang dengan bersatunya wilayah itu di bawah kekuasaan Zaira.

Perayaan berlangsung meriah. Shofiya, Ratu dari kerajaan Islam terkuat di semenanjung asia barat kala itu masih mengenakan riasan seperti tadi pagi. Hanya saja ia berganti busana dan mengenakan mahkota ratu. Tetap mengenakan pakaian bernuansa merah sebagai lambang kemenangan, ia pun duduk mendampingi Musa di singgahsana.

"Kenapa tegang begitu? Rakyat pasti senang ratunya sudah sedikit bertambah tinggi untuk bisa melampaui tinggi sandaran singgasana." Musa memecah kebisuan di antara keduanya.

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang