BAB 10

4.8K 510 22
                                    

Kedua bocah lelaki saling mempertemukan pedang mereka di arena pedang. Satu di antaranya adalah putra mahkota Zaira.

Sementara bocah bermata biru yang terlihat unggul dalam permainan pedang kali ini adalah putra dari selir Raja Zaira saat ini.

Bocah itu sedikit lebih tua dibandingkan Musa, sebab permaisuri sempat sakit dan akhirnya keguguran bayi pertamanya. Oleh karena itu, putra pertama raja bukan berasal dari permaisuri, melainkan seorang selir.

Seorang pria berusia lanjut namun masih berperawakan tegap dengan jeli memperhatikan kedua bocah di arena, bocah yang ia terima sebagai muridnya.

Ia mengamati bukan hanya detil setiap gerakan, tapi juga karakter masing-masing muridnya. Ia membaca betapa keduanya sangat kontras namun berlayar menggunakan perahu yang sama.

"Musa dan Hasan adalah pribadi yang sangat berlawanan. Kau harus selalu bisa menjadi penengah mereka, Shofiya," ucapnya pada seorang gadis yang duduk di sampingnya. Ikut mengamati kedua temannya berlatih.

Gadis itu menoleh padanya dan tidak sungkan mengutarakan pendapatnya tentang dua lelaki yang sama-sama mereka amati.

"Selama ini Musa memang selalu berulah untuk mendapat perhatian. Dan Kak Hasan dengan sabarnya selalu meladeni." Tiba-tiba Shofiya menggelengkan kepalanya cepat-cepat, seperti mengingat sesuatu. Sang guru masih mendengarkan.

"Bukan hanya itu. Musa juga sering mengajak Kak Hasan bertaruh tentang siapa di antara mereka yang akan lebih dulu menyentuh garis saat balap kuda atau siapa yang lebih banyak menembak sasaran dengan cepat. Akibatnya itu menjadi kebiasaan. Bahkan, mereka juga bersaing dalam hal-hal sepele seperti bertaruh apakah aku mau naik kuda sendirian," ujar gadis bernama Shofiya itu tanpa menyembunyikan kekesalannya. Bibirnya tampak mengerucut. Kemudian mendesah seraya menopang dagu. "Tapi aku tidak tertarik untuk ikut campur. Bukankah itu kekanak-kanakan sekali, Guru?"

"Karena itu mereka membutuhkanmu," ujar sang guru penuh penekanan, tanpa melepaskan pandangannya dari kedua muridnya yang sedang bertarung. "Terutama saat kalian dewasa nanti. Kau mengerti, kan?" lanjut pria bersurban putih itu seraya menepuk bahu murid perempuannya.

Shofiya menatapnya, mencoba mencari makna dari kalimatnya barusan. Meski begitu, ia tahu gadis itu lebih dari mampu untuk bisa mengingat dan memahami maksudnya. Pria itu pun tersenyum kemudian melompat ke arena bertarung untuk menghentikan pertarungan tanpa menetapkan pemenang.

"Kalian boleh berhenti!" serunya.

Keduanya mengentikan ayunan replika pedang masing-masing. Salah satu dari kedua bocah itu menggeram tidak puas.

"Ah ..., Kak Hasan selalu saja tidak bertarung sungguhan!" gerutu Musa sembari membersihkan pasir dari baju zirahnya.

Sang guru mengusap kedua kepala muridnya. "Kakakmu sudah cukup memancing kreativitas permainan pedangmu, Musa. Dia baru akan bertarung sungguhan saat melawan musuh. Kau mengerti? Dan dalam situasi apapun, dia tidak akan menjadikan adiknya sebagai musuh. Bukan begitu, Hasan?" tanya sang guru. Bukan merupakan pertanyaan basa-basi.

Hasan mengangguk mantab. Bibirnya membentuk senyum menghangatkan seraya mengacak rambut adiknya.

Musa menarik kepalanya menjauh. Tidak suka dengan perlakuan itu karena menganggapnya sebagai sikap yang memperlakukannya sebagai anak kecil. "Ya ..., terserah saja lah!" tukas Musa yang masih merasakan bara semangat bertarung dalam tubuhnya.

Hasan pun tertawa. Tawa tulus atas kelucuan adik kesayangan yang begitu ia nikmati.

Sejurus kemudian, bayangan arena pedang itu mengabur dari benak Hasan. Benar. Ternyata hanya bayangan. Masa lalu.

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang