BAB 23

4.1K 452 50
                                    

Saat gelap malam kembali menyapa, istana Zaira tampak sepi. Musa sedang berjalalan seorang diri di koridor istana. Tiba-tiba, terdengar suara yang membuat sang raja menghentikan langkahnya.

"Assalamu'alaikum, Yang Mulia. Maaf mengagetkan Anda."

"Wa'alaikumussalam," jawab Musa.

"Ada penyusup, Yang Mulia," lapor seorang pengawal yang seketika membuat Musa mengepalkan kedua tangannya.

****

Jika Musa sedang teraniaya oleh rasa terkhianati, di dalam kamarnya yang ditembus oleh cahaya bulan, Shofiya sedang teraniaya karena dianggap ternoda. Keraguan atas kesuciannya menjelma menjadi jarak antara dirinya dan Musa. Sudah tiga malam berlalu dan Musa tidak pernah berkunjung ke kamarnya.

Kerinduan merengkuh Shofiya dalam diam. Di kala si tuan tempat rindu berlabuh tak bersedia datang, menitikan air mata adalah sesuatu yang paling nyata untuk dilakukan.

Di tengah isakannya yang nyaris tak terdengar, sebuah tangan tiba-tiba membekap mulut sang ratu. Jemari seorang laki-laki, pikir Shofiya. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu sosok itu pastilah bukan penghuni istana. Shofiya berusaha meraih benda apapun di sekitarnya untuk melawan. Namun, tiba-tiba sosok di balik tubuhnya bersuara.

"Jangan berteriak. Lihat dan kau akan mengenaliku," ujar pria itu kemudian melepaskan bekapannya.

Shofiya berbalik dan sudah akan membuka mulutnnya untuk berteriak ketika si pria membuka lilitan kain yang membalut sebagian wajahnya.

Cahaya rembulan membasuh wajah si pria. Namun sebelum kain itu benar-benar terlepas, Shofiya dikejutkan dengan warna dan sorot yang terpancar dari mata pria itu. Alih-alih berteriak, Shofiya justru menangkupkan sepasang tangan ke mulutnya.

"Pangeran Hasan?" Shofiya tak kuasa untuk bergerak, bahkan lidahnya mendadak kelu. Jauh di lubuk hatinya, Shofiya merasakan luap bahagia mengetahui bahwa ternyata Hasan masih hidup.

Namun, ia sadar akan posisinya dan Hasan sekarang. Pertemuan ini tidak dilakukan secara benar. Ia pun melangkah mundur.

Hasan menatap jemarinya yang tadi ia gunakan untuk membekap Shofiya. "Kau sedang menangis, Shofiya. Ada yang menyakitimu?" tanya Hasan.

Ada gelenyar yang tiba-tiba merangsek memenuhi dadanya. Namun, ia berusaha mengendalikan semua itu kemudian menyadari sesuatu.

"Oh ..., aku lupa kalau sekarang kau sudah menjadi seorang ratu. Jadi aku tidak boleh lagi menyebutmu dengan sebutan itu," ucap Hasan seraya merasakan sisa air mata Shofiya yang tertinggal di jemarinya.

Shofiya buru-buru menyeka air matanya kemudian menjauh, melangkah ke sisi lain dari kamarnya seraya membentangkan hijab yang menyerupai tirai untuk memisahkan dirinya dan Hasan.

"Yang Mulia ada di ruangan utama kalau kau mau menemuinya. Kau tidak seharusnya berada di sini," ucap Shofiya sambil melihat sekeliling.

"Aku tidak berniat menemui Musa."
Hasan melangkah mendekat, diikuti Shofiya yang melangkah mundur sambil menyembunyikan wajahnya.

Kini Hasan berdiri tepat di depan hijab tipis yang dibentangkan Shofiya.

"Pangeran! Kalau kau tidak segera pergi, aku akan berteriak dan raja akan menghukummu sebagai penyusup," ancam Shofiya.

"Tampaknya dia begitu takut kehilangan wanita-wanitanya. Aku dengar dia memvonis mati saudaranya sendiri karena telah menyusup ke puri wanita."

Shofiya menyipitkan mata, mencoba menelaah apa lagi yang diketahui Hasan tentang kejadian di dalam istana.

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang