BAB 8

5.2K 601 62
                                    

"A-apa yang akan kau lakukan?" Arinda terbata. Tangannya meraba-raba tempat tidur, hendak meraih pedang yang ia letakkan di dekat bantal.

Musa terus maju. Kemudian tangannya terulur menyibak kain pembatas di antara mereka.

"Yang Mulia, aku peringatkan sekali ——"

"Ambil ini," kata Musa, menyodorkan setumpuk lembaran entah apa.

Arinda mengernyitkan keningnya.

"Ini daftar tentang diriku. Ditulis oleh Shofiya. Di sini tertulis apa yang aku sukai dan tidak aku sukai."

"Lalu?"

"Untuk kau pelajari."

"Apa yang membuatmu berpikir aku akan peduli tentang dirimu dan mau mempelajarinya?"

"Kau membenciku kan? Musuh tidak akan bisa menang kalau tidak mengenal lawannya."

"Apa dia tidak takut, dengan membaca itu aku akan mengenalmu dan justru membuatmu dekat denganku?"

Musa tersenyum. "Apa kau sungguh ingin melangkah ke arah sana, Ratu Arinda?"

Arinda terdiam. Ia tidak biasa mendengar sebutan itu untuk dirinya.

Musa menghela napas. "Shofiya melakukannya untukku, agar aku merasa nyaman. Bukan untukmu." Ia melirik lagi Arinda yang masih menunduk. "Rapatkan kerudungmu, aku akan memimpin shalat berjamaah kita di sini."

"Aku bisa shalat sendiri."

Musa menghela napas. "Terserah kau saja," ucapnya, lalu meninggalkan Arinda.

****

Resminya Arinda menjadi ratu kerajaan Zaira, membuatnya ikut bersama rombongan keluarga suaminya untuk menuju istana Zaira, tempat tinggalnya yang baru. Tidak hanya itu, ia juga berganti julukan menjadi Ratu Arinda.

"Ini kamarmu," ujar Shofiya sambil membimbing Arinda. "Sebaiknya kau segera istirahat. Karena besok, kau harus bersiap untuk menemani kunjungan raja."

Arinda mengangkat kedua alisnya. "Apakah kunjungan raja memang harus didampingi kedua istrinya?"

"Aku tidak bilang Yang Mulia akan ditemani kedua istrinya."

"Maksudmu kau tidak ikut? Lalu kenapa harus aku? Ehm..., maksudku, kenapa bukan dirimu?" Arinda buru-buru mengoreksi kalimatnya.

"Aku sedang banyak urusan di sini," jawab Shofiya sembari memeriksa ulang keadaan kamar supaya benar-benar layak ditempati seorang ratu. "Mulai sekarang, kita akan berbagi tugas."

Arinda menatap lekat-lekat wanita di hadapannya. Dari mata Shofiya, Arinda bisa menangkap rasa cemburu yang berusaha ditutup Shofiya dengan raut tegas wajahnya.

Namun tetap saja, sebagai wanita yang pernah jatuh cinta, Arinda bisa membaca semuanya.

"Aku tidak ingin merebutnya darimu, kau tahu?" ucap Ratu Arinda setelah beberapa saat terdiam.

"Kau bicara apa?"

Ratu Arinda menghela napas panjang.

"Alasanku meminta mahar itu ...," ia mendongak, menatap istri pertama raja kemudian melanjutkan "karena aku membencinya."

Kalimat itu sontak membuat Shofiya tersengat. Terbayang sebilah pedang yang diberikan Musa sebagai mahar, pedang yang ia gunakan untuk melukai ratusan pasukan Graha dan menewaskan Pangeran Salim, calon suami Arinda sebelumnya.

"Kau ingin mencelakai Musa?" suara Shofiya bergetar.

"Awalnya begitu. Bahkan itu masih terjadi dalam mimpiku." Ratu Arinda mengembuskan napasnya pelan. "Tapi aku sadar. Jika itu kulakukan, aku akan menyakitimu."

Shofiya menatap Arinda dalam kebingungan.

"Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kucintai, Ratu Shofiya," lanjut Arinda. "Itu sebabnya aku memintamu menyulam selendang untuk pernikahanku dengannya. Supaya aku bisa terus mengingatmu, sehingga aku tidak membalaskan dendamku dengan mencelakainya."

Shofiya mendekatkan wajahnya pada Arinda. "Kuharap kau tahu apa yang sedang kau bicarakan, Ratu Arinda. Jika sampai kau melukainya...," Shofiya menahan kalimatnya. "Jika kau berani melakukannya, aku bersumpah bahwa membalasmu akan menjadi salah satu alasan kuat aku melanjutkan hidup."

Tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh bayangan di pintu masuk kamar.

"Maaf mengganggu, Yang Mulia. Putri Hulya ingin bertemu dengan Ratu Shofiya." Seru suara dari luar pintu yang ternyata adalah pelayan istana.

"Baik, aku akan menemuinya." balas Shofiya. Sebelum benar-benar meninggalkan kamar Arinda, ia kembali menoleh ke arah ratu itu.

"Setidaknya dia sudah bertanggung jawab atas kesalahannya padamu. Kuharap kau mensucikan hatimu dari dendam dan mulai mengabdikan diri sebagai bagian dari kerajaan ini."

****

Zaira kembali seperti biasa. Para prajurit berlatih di medan buatan sebelah timur istana. Beberapa penghuni istana terlihat bersiap di dekat kereta kuda. Menaikkan barang-barang untuk diangkut dan memeriksa tunggangan.

Shofiya mendapati Putri Hulya dengan pakaian panjang berwarna hijau yang tampak bersinar di antara rombongan yang akan berangkat.

"Tampaknya ada yang sengaja tampil sangat cantik hari ini," goda Shofiya ketika mengamati penampilan adik iparnya dari dekat.

"Ibu selalu berkata, kalau kita harus terlihat menawan saat keluar sebagai rombongan kerajaan. Karena itu adalah salah satu taktik menjadikan Zaira sebagai kerajaan besar yang dipandang mahsyur dan agung di dunia." Hulya menjelaskan dengan bangga.

Shofiya tertawa. Gadis itu terkadang mirip kakaknya, begitu pikir Shofiya. "Itu niat yang bagus, asal tidak berlebihan. Karena jika berlebihan, kau akan lebih tampak seperti perhiasan berjalan nantinya."

"Iya ..., aku tahu. Azzam juga sering berkata begitu. Dia lebih suka tampilan yang sederhana," balas Hulya.

Sepucuk senyum mengembang di wajah Shofiya. "Jangan-jangan kau melakukan semua ini karena akan bertemu dengannya? Hmm ..., Musa akan senang kalau kalian benar-benar bersama nantinya," goda Shofiya.

"Kakak!" pekik Hulya. "Aku dan Azzam hanya teman baik. Jangan samakan kami dengan kalian berdua!"

"Baiklah-baiklah," ujar Shofiya yang belum bisa meredam tawanya. "Ngomong-ngomong apa semuanya sudah siap?"

"Sudah. Kami hanya tinggal menunggumu dan Kak Musa," jawab Hulya.

Shofiya mengehela napas. "Aku tidak ikut kali ini, Hulya. Ratu Arinda akan menggantikanku," ucapnya sambil membelai pipi Hulya.

Mata Hulya membulat. "Kau membiarkannya menemani Kak Musa dalam kunjungan ini?" seru Hulya kaget.

"Ssssttt, pelankan suaramu... Memangnya apa salahnya? Mereka suami istri."

"Tapi,"

"Aku tidak bisa meninggalkan istana dalam waktu dekat ini. Banyak sekali yang harus kuselesaikan. Lagi pula aku ingin Ratu Arinda lebih mengerti tentang lingkungan barunya."

"Berada di istana juga merupakan pembelajaran untuk mengenal lingkungan barunya," sahut Hulya seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

Tak ada balasan dari kakak iparnya. Ia pun mendengus pasrah. "Jadi aku tidak bisa jalan-jalan denganmu di kota Taryan?" tanya Hulya dengan nada kecewa, yang dibalas anggukan hikmat sang ratu.

Mata Hulya menyipit. "Kau akan menyesal tidak mencicipi makanan khas Taryan kesukaanmu karena aku tidak akan membawakannya untukmu," ujar Hulya sewot.

Shofiya mencibir, kemudian kembali tertawa mencubit hidung Hulya. "Sampaikan salamku pada Bibi Yasmine, hmm?"

Hulya mengangguk. Sebelum akhirnya pandangannya tertuju pada sosok yang baru saja datang. Ratu Arinda, diikuti Musa tak jauh di belakangnya.

Dari sudut rombongan, Musa mendekat untuk mencekal lengan Shofiya. "Kau sengaja mengatur ini semua?" bisik Musa.

-------------------------------- to be continued

Wow udah mulai bermunculan ya pendukung dua kubu, kapal kalian siapa?

Musa-Shofiya, atau Musa-Arinda?

RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang