Pagi itu, Musa menatap Shofiya yang tengah berusaha mengancingkan bagian belakang busananya. Ia menghampiri istrinya itu kemudian membantu mengancingkan yang tersisa.
Musa bisa mencium aroma khas Shofiya ketika ia sengaja mendekatkan wajahnya ke tengkuk istrinya. Diraihnya sebotol wewangian di meja rias Shofiya, kemudian menghirupnya.
"Ini yang biasa kau pakai?" tanya Musa.
Shofiya mengangguk sembari merapikan rambutnya. Dilihatnya Musa tersenyum.
"Kenapa?" tanya Shofiya, mengernyitkan dahi.
Musa meletakkan botol wewangian itu.
"Aromamu lebih wangi dan menyenangkan ketimbang wewangian itu sendiri."
Shofiya merona. Ia tidak mengantisipasi pujian manis itu. Belum sempat rona itu hilang, Musa sudah mencium pipinya yang masih merah. Membuat jantungnya berdegup semakin kencang.
"Aku tunggu di tempat biasa. Kita sarapan bersama," bisik Musa.
Setelah selesai dan menormalkan kembali jantungnya yang sempat melompat-lompat tidak karuan, Shofiya menhampiri Musa yang telah menunggunya di beranda istana untuk menemani suaminya itu menyantap hidangan pagi sambil dibasuh hangat sinar mentari.
Musa memandangi Shofiya. Istrinya itu, entah kenapa hari ini tampak lebih cantik dari biasanya. Wajah Musa juga tampak cerah, ia tersenyum mengingat kejadian semalam. Betapa Tuhan memberinya hadiah begitu indah.
Hidangan khusus untuk raja dan ratu pun disiapkan dengan rincian lengkap sebagaimana mestinya. Namun anehnya, nafsu makan Shofiya tiba-tiba menghilang setelah ia meneguk ramuan yang biasa ia minum di pagi hari. Ia sama sekali tidak menikmati hidangan yang diberikan. Setelah beberapa suapan, ia meminta izin suaminya untuk cepat-cepat ke kamar mandi.
Tak lama kemudian, ia berseru memanggil Nadira, pelayan setianya.
"Astaga Ratu Shofiya ...," Nadira menangkupkan kedua tangannya ke mulut ketika melihat darah mengalir di kaki Shofiya.
"Bantu aku ke kamar, Nadira." Shofiya meraih uluran tangan Nadira supaya membopongnya ke kamar.
Setelah berhasil membawa Ratu Shofiya ke kamar, Nadira memanggil tabib istana dan melapor kepada raja.
"Ada apa?"
"Yang Mulia, Ratu Shofiya mengalami pendarahan ...," ujar Nadira lirih, karena Shofiya tidak ingin keadaannya diketahui banyak orang.
"Apa yang terjadi?" tanya Musa kaget.
"Saya tidak tahu, Yang Mulia. Tapi sepertinya Ratu keguguran," jawab Nadira.
"Maksudmu Ratu Shofiya mengandung? Jangan bergurau, Nadira. Itu tidak mungkin." Musa setengah tertawa.
"Mana mungkin saya punya keberanian untuk itu, Yang Mulia."
Musa tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa Shofiya yang baru disentuhnya semalam bisa mengandung.
"Aku ingin bertemu dengan tabibnya," ujar Musa singkat. Kabar ini bagai lecutan petir yang membakar istananya dengan Shofiya yang baru saja selesai ia bangun di hatinya.
****
"Kau pasti salah! Aku ..., aku tidak sedang mengandung, Sarah!" jerit Shofiya setelah mendengar penuturan Sarah, tabib kepercayaan istana. Ia masih terbaring di ranjang, sementara Nadira menyeka peluh yang membasahi dahi dan leher ratunya.
Sarah menunduk di samping ratunya. "Maaf, Ratu. Tapi seperti itulah yang dapat saya simpulkan dari apa yang Ratu alami," ujar sang tabib.
Musa tiba di ambang pintu. Tubuhnya berdiri tegang, setegang sorot matanya yang mengguyur semua pasang mata di dalam sana.
Dalam isyarat yang tak disuarakan, sang raja meminta semua, kecuali Shofiya untuk keluar dari ruangan. Detak jantungnya sudah bergemuruh bak genderang perang selama perjalanan menuju kamar istrinya. Memompa arus deras darahnya, selaras dengan emosi yang menjilat-jilat pembuluh darahnya hingga memerahkan wajahnya.
Semua pelayan termasuk tabib istana pamit untuk undur diri dari hadapan raja dan ratu mereka. Menyisakan pekat ketegangan yang ditelan mentah-mentah oleh kedua insan di dalamnya.
"Bagaimana bisa?" tanya Musa ketika sampai di sisi ranjang Shofiya. Matanya menatap sosok yang terbaring di hadapannya dengan nanar.
"Ini tidak mungkin," sahut Shofiya dengan suara bergetar.
Musa mengepalkan kedua tangannya. Berusaha menelan raungan amarah dari dalam sukmanya.
Yang benar saja, ia baru saja merasakan kebahagiaan tiada tara bersama gadis di hadapannya beberapa jam lalu. Dan terbitnya matahari justru mengembalikannya dalam mimpi buruk.
"Katakan ...," katanya dengan getaran suara penuh luka. Sebagian diri Musa tak sanggup melafalkan kalimat yang menggantung di lidahnya. Namun, akhirnya pemuda itu bersuara.
"Katakan padaku siapa yang berani menyentuhmu sebelum aku."
Shofiya menatap suaminya tak percaya.
"Tidak ada yang pernah menyentuhku, Musa. Aku tidak tahu kenapa ..."
"Shofiya aku tidak ingin berbelit," potong Musa geram. Rahangnya yang tajam kini mengeras.
"Kau tidak percaya padaku." Shofiya menyimpulkan. Matanya mencari mata Musa yang seakan menghindari kontak mata dengannya.
"Selama ini aku percaya padamu," desis Musa seraya mengacak rambutnya frustasi.
"Tapi tidak kali ini." Shofiya berkata lirih. Air matanya sudah menggenang dan tinggal menunggu satu hitungan untuk ditumpahkan.
"Lalu apa yang kau harapkan?" nada suara Musa meninggi. "Kau mau aku bersikap bodoh dan diam saja ketika ada buah cinta dari orang lain dalam rahim istriku?" Musa menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa, Shofiya. Aku bahkan bisa menghabisi seluruh lelaki di negeri ini hanya karenamu!"
Tangis Shofiya pecah. Sama seperti Musa, hatinya remuk sudah.
"Aku tidak mengandung!" jeritnya di tengah isakan. "Satu-satunya laki-laki yang berada di dekatku hanya dirimu. Suamiku. Mungkin ini kesalahan, aku mengalami gejala lain, yang belum pernah dialami orang lain ...," ucapnya terbata.
Musa meninju dinding tepat di dekat Shofiya berbaring. Membuat gadis itu terkejut dan ketakutan.
Sambil mendekatkan wajahnya ke Shofiya, Musa berbisik sembari menahan perih.
"Kau tahu, caramu membuatku membayar taruhan kita sangatlah brilian. Aku mengakui bahwa aku merindukanmu. Dan ini harga yang harus kubayar."
Shofiya meraih tangan Musa.
"Tolong percaya padaku. Aku tahu ada sisi dalam dirimu yang mempercaiku. Tolong jangan hilangkan sisi itu...," rintihnya.
Musa melepaskan tangan Shofiya darinya.
"Berharaplah Allah segera menunjukkan kebenaran yang kau maksud. Jika kau memang tidak bersalah. Barulah kesucianmu di mataku kembali."
Tanpa menunggu Shofiya membalas kalimatnya, yang akan semakin menyiksanya, Musa meninggalkan kamar Shofiya dengan perasaan kalut dan hati hancur. Bahkan masing-masing bagian dari tubuhnya seperti kehilangan baut untuk menyatu. Sang raja benar-benar kosong. Ia tidak bisa berseberangan dengan satu-satunya jiwa hidup yang dipercayainya.
------------------------------------to be continued
Huwaaa mewek 😭😭😭
Komen yg banyak buat nexttttt
—————————
Yang penasaran banget dan gakuat nunggu, langsung cus ke karyakarsa ya... udah TAMAT !!
KAMU SEDANG MEMBACA
RAJA, RATU & SELIMUT DEBU
Historical FictionSebagai raja muda yang ambisius, Musa berhasil memperoleh kemenangan atas tanah Graha. Kepulangan sang raja disambut penuh suka cita oleh segenap keluarga termasuk Shofiya, teman kecilnya yang kini telah menjadi ratunya. Bahagia, rindu yang terbayar...