[1] Two Sides

8.3K 1.1K 296
                                    

Apa yang kau harapkan dari kehidupan?

Bisakah kau menjawabnya?

Ketika manusia mengharapkan sesuatu dan kemudian mendapatkannya, mereka akan mengharapkan sesuatu yang lebih dari sebelumnya. Bisa diambil kesimpulan, bahwa manusia tidak akan pernah berhenti berharap sampai mereka mati.

Seberapa besar harapan yang manusia buat, tergantung pada dimana posisi mereka saat ini.

Dan Keita, berada di posisi paling bawah, dimana dia hanya berani berharap bahwa ia bisa makan tiga kali dalam sehari keesokan harinya.

Juga berharap ia bisa menarik nafas lega paling tidak sekali dalam seumur hidupnya. Sejauh yang ia tau, helaan nafas yang ia keluarkan selama ini hanyalah bentuk dari lelahnya ia terhadap hidupnya sendiri.

Seperti hari ini, helaan nafas itu kembali terdengar berat tatkala melihat coretan di loker miliknya.

Hantu kelas.

Memang tidak salah panggilan tersebut ia dapatkan. Sehari-hari, ia hanya berada di pojok kelas, tanpa berniat berkonversasi dengan orang lain. Lagipula, orang-orang juga enggan berteman dengannya. Mereka selalu menganggap remeh ia yang berasal dari panti asuhan.

Keita tidak punya cukup waktu untuk membalas ataupun mencari si pelaku. Dibanding itu, ia lebih memilih pergi setelah membanting pintu lokernya dengan keras. Tidak ada waktu untuk marah.

Keita selalu berpikir bahwa waktunya hanya ia gunakan untuk bertahan hidup.

Dalam perjalanan, ia melihat Linlin. Gadis yang tinggal di panti asuhan yang sama dengannya. Gadis manis yang selalu berusaha baik pada semua orang agar ia mendapatkan teman. Namun, dunia terlalu acuh pada usaha apapun dari orang-orang seperti mereka.

Contohnya adalah ini.

Dua orang gadis menghadang Linlin dan mengejeknya habis-habisan. Mereka marah hanya karena guru-guru sangat memprioritaskan Linlin yang begitu rajin dan pintar.

Keita memicingkan matanya. Ingin menolong tapi dia juga bukanlah seorang yang luar biasa berpengaruh dalam lingkungan manapun. Yang ada, masalah akan semakin rumit jika ia ikut campur.

Gadis-gadis itu pergi setelah menumpahkan seluruh isi tas milik Linlin.

Melihat itu, Keita datang dan membantu mengemasi barang-barang milik Linlin.

"Oh, Keita oppa!" Linlin seketika tersenyum senang.

Meskipun mereka berdua bukan berdarah Korea, namun mereka dari kecil sudah tinggal di Korea. Oleh karena itu, mereka hidup seakan-akan mereka adalah orang Korea asli. Bahkan mereka tidak begitu tau bahasa asal masing-masing.

"Jadi pintar juga tidak menyenangkan ya?" ujar Keita.

Linlin hanya menampikkan senyum kapitalismenya.

Mereka bangun dan berjalan bersama. Keita menenteng tas milik Linlin. Ini sudah jadi kebiasaan Keita. Jika ia berpapasan dengan Linlin, ia akan mengambil alih tas miliknya. Dan Linlin sudah menebak apa yang akan Keita katakan selanjutnya.

"Apa yang kau bawa? kenapa berat sekali?"

Yah, Linlin sudah hafal diluar kepala pertanyaan itu.

"Aku membawa kebodohanmu, makanya berat," Linlin menjulurkan lidahnya kemudian berlari.

Dan yang paling Linlin hafal adalah, ketika merasa kesal Keita akan mengancam.

"Aku tidak akan membelikanmu ice cream vanila lagi!"

Linlin tidak takut akan ancaman itu, karena tau Keita tidak pernah serius mengatakannya.

Keita yang mengamati Linlin dari belakang sedikit tersenyum.

altero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang