Sungguh sial bagiku--atau baginya--karena kami harus bertemu kembali hari ini. Aku mengunjungi panti lagi--beserta Kokoro yang lagi-lagi memaksa ikut sepulang kuliah tadi siang.
Dan tebak siapa yang kutemukan?
Park Jihoon.
Kata bibi Shin, dia adalah mentor belajar anak-anak panti. Jadi ia memang selalu datang kemari. Bibi Shin menyewanya, karena bayarannya paling murah diantara mentor-mentor lain.
Aku tertawa remeh mengetahui itu. Apa Jihoon memang sepintar itu? Kalau ia pintar, seharusnya ia mengajari dirinya sendiri untuk tidak menilai sesuatu sebelum menerima penjelasan yang akurat.
"Astaga jorok sekali!" Aku mengalihkan tatapku kearah Kokoro yang tengah menutup hidungnya. Di depannya ada Yoshinori yang tengah bersantai dengan wajah tak berdosa. "Bagaimana bisa kau buang angin didepan seorang gadis?!"
Yoshi menoleh malas. "Oh, kau itu gadis."
"Jadi menurutmu?!"
"Seonggok daging yang berisik," jawabnya Yoshi dingin.
Kulihat wajah Kokoro menahan amarah disamping sana. Ia melipat tangannya karena tidak tau harus membalas apa. Ia lantas mengambil sebungkus marsmellow dan memakannya sangat lahap.
Aku terkekeh geli. Kemudian sedikit tercenung. Tidak menyangka bahwa gadis itu adalah kakakku. Aku bertanya-tanya, apakah ia mengingatku atau tidak. Bahkan akupun sejujurnya tidak ingat apa-apa tentangnya. Aku masih sangat kecil kala itu.
Aku sudah cukup bisa menerima sekarang. Dan bertekad akan melindungi kakakku meski dengan tubuh orang lain--setidaknya sampai aku benar-benar mati sebentar lagi.
Aku memasuki salah satu kamar. Kudapati jam weker berwarna biru di samping kasur milik Junghwan. Ternyata, ia menggunakannya dengan baik. Kata Haruto, Junghwan sudah tidak pernah terlambat bangun lagi. Aku tersenyum melihatnya.
"Aku bangun dipagi hari dengan alarm yang diberikan Keita hyung padaku. dan itu sangat menyiksaku."
Aku menoleh keasal suara. Kudapati Junghwan yang masih mengenakan seragam sekolah dengan tas di pundaknya.
"Tiap pagi kuhabiskan untuk menatap benda itu sampai ia berhenti berbunyi. Berharap bahwa benda tersebut bisa berubah jadi Keita hyung yang tengah berceloteh tentang jam tidurku yang buruk. Aku berjanji akan bangun sendiri tanpa perlu dibangunkan. Aku janji tidak akan merepotkan Keita hyung lagi. aku hanya ingin dia kembali."
Bagaimana pun, Junghwan masih kecil. Akan butuh waktu yang lama bagi anak sebayanya untuk merelakan. Sejujurnya, mendengarnya berujar seperti itu membuatku ingin menangis. Aku mendekat padanya dan mengusap puncak kepalanya.
"Keita pasti bangga melihatmu bisa bangun pagi sendiri sekarang."
Lalu, aku keluar setelah mengumparkan senyum kapitalisme padanya. Aku tidak kuat berlama-lama didalam sana. Pertahananku bisa runtuh. Aku sudah membuat janji pada diriku sendiri, bahwa selama dua bulan ini, aku tidak boleh menangis lagi.
Kudapati Jihoon yang sepertinya baru saja menguping didepan pintu kamar. Dia terkejut menyadari aku yang memergokinya. Kemudian ia mendengus dan pergi menjauh. Aku mengikutinya hingga kehalaman belakang rumah. Beberapa kali kupanggil namanya, namun ia tetap berjalan acuh. Sampai aku menarik kain baju bagian belakangnya untuk membuatnya berbalik.
"Apa kau sangat membenciku?" Tanyaku memandangnya sangat dalam
"Kenapa kau masih bertanya?" Ujarnya sinis. "Ucapanku yang waktu itu, belum cukup membuktikannya?"
Aku ingat dengan jelas. Tepat ketika ia berkata bahwa ia harap yang mati adalah Gunho. Rasa sakitnya bahkan masih menjalar hingga sekarang. Padahal ia bukan mengatakannya untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
altero ✓
FanfictionKeita menggantikan Gunho untuk bernapas menggunakan paru-parunya. Dia kemudian menyadari, tubuh itu--penuh dengan penyesalan.