Gunho berjalan sambil menyapu seluruh pandangnya kesekitar. Aroma khas ombak laut bergelayut tenang dalam rongga dadanya. Mengisyaratkan padanya bahwa kini, ia sudah berada di dunia yang berbeda. Tidak pernah ada ombak setenang ini di dunia nyata. Namun, tempat ini tak ubahnya dengan tempat dimana Gunho menghabiskan liburan terakhirnya. Bersama Junkyu dan Jihoon.
Gunho menghentikan langkahnya. Tepat satu meter dibelakang seorang pria ber-hoodie coklat. Pakaiannya masih sama dengan yang terakhir kali Gunho lihat. Ia duduk dengan kaki bergelayut pada beton pembatas yang hanya berjarak beberapa senti diatas permukaan laut. Aroma tubuhnya saja sudah memberikan Gunho petunjuk tentang siapa orang itu.
"Ju-Junkyu?"
Junkyu membalikkan badannya dan melambai disertai senyum lebar khas dirinya. Ia mengisyaratkan Gunho untuk mendekat. Dengan sedikit ragu Gunho menurut. Ia lantas tersenyum dan duduk disebelah Junkyu. Memperhatikan wajah orang itu--yang sudah sangat lama ingin dilihatnya kembali. Junkyu tidak berubah. Masih sangat antusias hanya untuk memperhatikan gulungan ombak. Masih takjub pada sekelompok burung laut yang mengepakkan sayap mereka secara singkron. Dan masih suka tersenyum lebar hanya untuk merasakan betapa sejuknya angin laut menyapa permukaan kulitnya.
Rasanya senang--bercampur sedih.
"Kau menungguku?" Tanya Gunho.
Junkyu menangguk membenarkan.
Gunho menunduk. "Maaf, sudah membuatku menunggu sangat lama."
Kali ini Junkyu menggeleng. "Tidak. Kau justru datang terlalu cepat."
Gunho hanya bisa terkekeh hambar. Keinginannya untuk berbicara secara normal tercekat oleh rasa bersalah yang menyeruak.
"Junkyu, aku sangat ingin bertemu denganmu." Gunho menatap Junkyu yang masih asyik menikmati panorama dihadapannya. "Aku rindu menyesap secangkir mocca latte di depan hamparan laut musim semi. Aku ingin mendengarmu menirukan suara hewan-hewan lagi. Aku ingin kau menendang bokongku atas apa yang telah kuperbuat padamu."
Junkyu akhirnya menoleh pada si oknum yang tengah berbicara lirih. Lengkungan dibibirnya menipis sambil menunggu Gunho untuk mengucapkan kalimat berikutnya.
"Namun, sebesar apapun keinginan itu, perasaan bersalah membuatku berpikir bahwa aku tidak pantas untuk melaluinya lagi. Aku tidak pantas mendapatkan memori itu kembali." Rasanya tenggorokan Gunho semakin perit. Namun ia sudah berjanji akan mengatakan ini jika ia bertemu dengan Junkyu lagi. "Junkyu, jangan maafkan aku. Biarkan aku menderita bersama rasa bersalah ini untuk selamanya. Jangan pernah memaafkan aku. Hukuman ini adalah yang paling tepat untukku."
Detik-detik berlalu dengan Gunho yang menunduk beserta air mata yang kian meluruh.
"Hei, aku tidak pernah menyalahkanmu."
Gunho mengangkat kepalanya untuk memperhatikan raut Junkyu. Tergambar ketulusan yang natural disana. Dan itu membuat perasaan Gunho semakin bercampur aduk.
"Aku justru marah, karena kau terus menyakiti dirimu dengan rasa bersalah. Padahal kau tidak melakukan hal buruk."
"Tapi aku--"
"Kau hanya mencoba membantu seseorang. Itu bukanlah sebuah kejahatan." Junkyu menyilangkan kedua tangannya sebagai bantal kemudian berbaring dengan santai. "Sampai sekarang pun, aku harap aku bisa sebaik dirimu. Aku selalu kagum dengan caramu yang tidak ragu untuk mencampuri urusan orang lain."
Gunho ikut membaringkan badanku disampingnya. Memandang langit-langit yang lebih biru dibandingkan biasanya.
Rasanya sedikit melegakan. Sesuatu yang ia inginkan sudah ia dapatkan sekarang. Bertemu Junkyu dan mengatakan maaf tepat dihadapan wajahnya secara langsung.
"Hei." Junkyu menyenggol pelan lengan Gunho. "Kau ingat kita bertiga pernah bermain hujan saat musim gugur?"
Aku terkekeh. "Konyol sekali."
"Keesokan harinya Jihoon pingsan saat jam olahraga karena demam," Junkyu berujar sambil terkikik geli mengingat momen-momen itu.
Gunho ingat sekali tentang hal itu. "Setelahnya, kita berjanji akan bermain hujan lagi di musim semi. Namun, semenjak kau pergi, bagiku yang datang selalu musim dingin."
Kebetulan, janji itu mereka buat beberapa bulan sebelum Junkyu tewas.
Junkyu menghela nafasnya kemudian kembali dalam posisi duduk. Gunho pun turut melakukan hal yang sama. "Karena kau sudah melalui banyak hal, untuk sekarang akhirnya kau bisa beristirahat."
Junkyu bangkit dan memandang Gunho sambil tersenyum. "Ayo pergi."
Gunho mengangguk dan bangkit dari duduknya. Ia merangkul Junkyu sambil berjalan menjauh kearah sebuah cahaya.
Bagaimana dengan Jihoon?
Dia akan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
altero ✓
FanfictionKeita menggantikan Gunho untuk bernapas menggunakan paru-parunya. Dia kemudian menyadari, tubuh itu--penuh dengan penyesalan.