Aku menunggu di gang yang biasa dilewati oleh Linlin. Beberapa saat setelahnya, Linlin lewat beserta sekelompok gadis yang kerap kali menindasnya. Mereka memberikan buku tugas mereka kepada Linlin secara paksa. Ini lah yang tiap hari gadis itu lalui. Dia tidak bisa melawan. Dia tidak kuasa. Dia hanya bisa menerima.
Aku menghempaskan nafas dan memantapkan langkahku kearah gadis-gadis itu. Setelah cukup dekat, aku bisa melihat mereka sedikit terperangah. Mungkin karena aku yang sekarang sangat tampan dipandang oleh mereka. Namun aku mengubah eskpresiku jadi marah.
"Kau—"
"Apa yang kalian lakukan padanya?" ujarku dingin sambil memotong ucapan Linlin.
"Orang tampan sepertimu mau membela anak panti ini?" gadis-gadis itu tertawa merendahkan.
Aku memejamkan mata sambil menahan emosi. Aku berjalan semakin mendekat. Lalu aku mengambil tas Linlin tanpa persetujuannya. Mereka yang ada disana semakin terheran-heran. Aku menoleh sekali lagi sambil tetap mempertahankan ekspresi dinginku.
"Ambil buku tugas kalian darinya, sekarang. Berhentilah berbuat buruk."
Gadis-gadis menyebalkan itu sedikit terkejut. Salah satunya—yang mungkin merasa paling cantik—berdehem singkat sambil mengibaskan rambutnya dihadapanku.
"Aku akan berhenti berbuat buruk padanya. Sebagai gantinya, boleh aku minta nomor ponsel—"
"Dia pacarku," potongku cepat sambil menunjuk Linlin. Semua gadis itu terperangah. Linlin memandangku penuh ketidakpercayaan. "Kalau kalian berani menganggunya lagi, aku tidak akan aku tidak akan tinggal diam—sekalipun kalian itu perempuan."
Aku merangkul Linlin sembarang. Menyeretnya untuk segera pergi dari sana. Ia hanya meronta minta dilepaskan. Namun aku memperkuat rangkulanku sampai posisi kami menjauh dari gadis-gadis centil itu.
Linlin menghempaskan tanganku. "Apa-apan kau ini?"
Aku menoleh sekilas lalu berjalan santai mendahuluinya sambil masih membawakan tasnya. Mengabaikan protesnya barusan.
Ia berjalan cepat mendekat kearahku. "Kemarikan tas ku. Aku mau pulang."
"Aku antar," ujarku bersikeras.
Ia mendengus dan hanya bisa menurut. "Kau pikir hal yang kau lakukan barusan akan membuatku tidak terancam lagi?!"
Mungkin Linlin marah karena aku sudah seenaknya. Namun kini aku tidak ingin menjadi pengecut seperti dulu. Aku meyakini, bahwa kesempatan kedua ku hidup saat ini terjadi untuk memperbaiki semuanya.
"Jika sesuatu terjadi, aku akan datang lagi." Aku menatapnya penuh keyakinan. "Karena kini aku sudah mampu. Aku sudah memiliki kuasa untuk melindungimu. Maka biarkan aku melakukannya."
Kemudian aku melanjutkan jalanku. Kulihat ia sedikit tercenung tak mengerti. Wajar saja. Aku bahkan juga tak paham mengapa aku mengatakan hal tersebut. Seakan-akan aku mengatakan bahwa aku pernah berkecimpung dalam hidupnya sedari dulu.
Aku sedikit menoleh kepadanya. "Ayo mampir ke minimarket sebentar."
"Untuk apa?"
"Kau pasti rindu ice cream vanilla."
Setelah kata itu terucap. Aku bisa merasakan aura sendu yang ketara. Linlin memandang kearah lain. Tapi aku masih bisa tau dengan jelas bahwa ia sedang menahan tangis.
Kami menaiki tangga pemukiman. Aku melenguh singkat setiap kali melewati daerah ini.
"Kau mengingatkanku pada Keita oppa." Linlin tiba-tiba buka suara. Langkahku maupun langkahnya kian melambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
altero ✓
FanfictionKeita menggantikan Gunho untuk bernapas menggunakan paru-parunya. Dia kemudian menyadari, tubuh itu--penuh dengan penyesalan.