"Kenapa kau tiba-tiba mau mengantarku pulang?"
Kokoro dan aku berjalan bersisihan. Hari sudah hampir gelap, sementara kami sedari tadi melangkah dengan begitu santai. Angin malam menyapa rongga-rongga tubuhku. Aku menoleh pada Kokoro yang hanya mengenakan dress biru.
"Kau sudah gila mengenakan pakaian seperti itu di musim dingin?" Ujarku.
Kokoro menilik tubuhnya. "Aku sudah biasa. Lagipula musim dingin sudah hampir selesai."
Aku mendesis sebal mendengar jawabannya. Dalam hati, aku bertanya-tanya apakah memang semua perempuan lebih mementingkan keindahan dibandingkan kenyamanan. Aku lantas melepaskan kemejaku--menyisakan kaos abu-abu ditubuhku. Kemudian aku melempar asal kearah Kokoro. Untung ia sigap menangkapnya.
"Pakai itu!"
Awalnya Kokoro terheran-heran. Tapi kemudian ia tersenyum senang dan mengenakannya.
"Kau memang semakin kasar. Bertolak belakang dengan yang dulu. Tapi kau malah semakin perhatian."
"Hei jangan salah paham! Aku melakukannya karena kau itu noo--"
Sial. Aku hampir kelepasan mengatakan hal yang seharusnya tidak kukatakan. Namun tampaknya, Kokoro tidak ambil pusing dengan ucapanku yang menggantung. Ia berjalan riang kearah depan. Kemeja kebesaran yang ia kenakan berkibar-kibar tertiup angin.
Aku memandang rumah yang cukup besar dihadapanku ini. Entah mengapa, aku merasa sedikit lega karena mereka hidup dengan sangat baik sekarang. Mungkin, aku memang pembawa sial. Buktinya, ekonomi mereka membaik setelah membuangku."Tidak mau masuk?" Tanya Kokoro.
Belum sempat aku menjawab, seorang wanita paruh baya keluar dari pintu. Ia mendatangi putrinya dan mengusap puncak kepalanya dengan lembut.
Aku terdiam membantu ditempatku berpijak. Perasaan tercekat membuatku nyaris tidak berkedip setelah menjumpai presensi wanita paruh baya tersebut. Apa dia benar ibuku? Aku bertemu dengan ibuku saat ini?
"Temanmu?" Tanya wanita itu pada Kokoro sambil tersenyum kearahku. Aku hanya membalas dengan senyum simpul sebagai bentuk formalitas.
"Dia Gunho. Yang aku ceritakan," jawab Kokoro antusias.
"Ah, pantas dia tampan seperti yang kau bilang." Wanita itu terkekeh.
Melihat ia tersenyum, rasanya aku seperti pernah melihatnya. Tidak asing sampai membuatku merasakan rindu bertahun-tahun lamanya.
Aku membuyarkan kesadaranku. Kemudian aku membungkukkan badan. "Ak-aku pulang dulu, bibi."
"Sudah mau pulang? Bagaimana jika makan malam dulu disini?"
Aku terdiam kembali. Kemudian menelan salivaku. Dari dulu, hal yang paling ingin kulakukan adalah ini. Mencoba masakan ibu kandungku sendiri.
"Bo-boleh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
altero ✓
FanfictionKeita menggantikan Gunho untuk bernapas menggunakan paru-parunya. Dia kemudian menyadari, tubuh itu--penuh dengan penyesalan.