Aku ingin memberitahu hal menyedihkan lainnya dalam hidupku. Aku adalah anak terbuang. Aku juga tidak mengerti tentang hal itu. Aku dibuang ketika aku masih berusia 6 tahun. Aku tidak tau alasan kenapa orang tua asliku membuangku. Mereka menyuruhku masuk kedalam kontainer pengangkut barang bersama tas ransel berisi banyak makanan dan tiba-tiba aku mendengar suara-suara ombak laut. Tidak tau sudah berapa hari terlewat di dalam situ, tiba-tiba seseorang membukanya dan berkata bahwa aku sudah berada di negara yang berbeda. Yaitu di Korea. Dimana sebelumnya aku berada di Jepang.
Sore ini kupijakkan langkahku dengan kaki jenjang milik Gunho lagi. Langkahku terasa lebih cepat dibanding ketika aku masih jadi Keita.
Aku tidak tau kalau malaikat maut juga suka berkeliaran di bumi—Sebelum kudapati Yoonbin yang tengah termenung sambil menatap salah satu objek di seberang jalan. Aku mendekatinya, kemudian melihat objek yang sama dengan yang ia lihat. Seorang wanita berusia sekitar dua puluh tahunan. Wanita itu tampak muram dan pucat dengan setelan abu-abu berlapis sweater putih. Berdiam menatap kosong kearah jalan raya pada kursi plastik di depan toko kue.
"Bagaimana caranya membuat manusia merasa lebih baik setelah ditinggalkan?" ujar Yoonbin tiba-tiba.
Aku hanya mengedikkan bahu. Bagaimana mungkin aku punya solusi atas itu? Aku berharap orang-orang yang kutinggalkan bisa merasa lebih baik. Tapi sepertinya memang butuh waktu.
Yoonbin berdehem singkat kemudian mengalihkan fokusnya padaku. "Bagaimana kabarmu?"
"Seperti yang kau lihat."
Yoonbin mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti. Lalu ia kembali menatapku dengan mata sipitnya yang ia buat semakin sipit. Dan aku benci cara dia menatapku seperti itu. Seakan-akan ada sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Apa?" tanyaku.
Ia menggeleng, lalu menghilang begitu saja.
Aku tidak ingin ambil pusing dan kemudian melanjutkan jalanku menuju kampus.
Tadi malam, Gunho kembali datang dalam mimpiku. Sepertinya ia ketagihan melakukannya. Ia mengatakan banyak hal seakan-akan aku adalah teman dekatnya. Dia bercerita kenapa dia memilih jurusan psikolog—tentu setelah mendengar keluhanku yang tidak mengerti apapun tentang jurusan tersebut.
"Aku selalu penasaran dan ingin lebih mengenal manusia. Aku yakin banyak hal yang tak tampak dibanding yang tampak di setiap kehidupan yang mereka jalani. Aku ingin memahami semuanya. Bahkan untuk hal yang mereka sembunyikan."
Namun kurasa, pada akhirnya keinginan Gunho selamanya tidak akan pernah menjadi kenyataan. Batas manusia memahami orang lain hanyalah menerka. Benar dan salahnya disimpan oleh orang itu sendiri. Karena keduanya tidak berbagi untuk satu kehidupan yang sama.
Rasa penasaranku mencuat naik kepermukaan ketika tanpa sengaja aku mendapati sebuah box biru yang sudah tampak usang dan berdebu. Tepat di sudut ruangan. Tempat paling gelap di antara seluruh penjuru apartemen ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
altero ✓
FanfictionKeita menggantikan Gunho untuk bernapas menggunakan paru-parunya. Dia kemudian menyadari, tubuh itu--penuh dengan penyesalan.