Ada satu hal yang kuanggap tabu dalam rumah sakit. Yaitu membuat janji. Beberapa menit lalu, aku menyaksikan seorang ibu yang meronta kehadapan dokter karena anaknya tewas setelah menjalani operasi. Ibu itu berkata, bahwa dokter itu berjanji untuk menyelamatkan sang anak, namun ternyata janji itu tak mampu ditepati.
Jangan mengatakan hal yang bersifat memberi harapan--karena di rumah sakit, semuanya sedang berada dalam hidup dan mati. Jika mereka baik-baik saja, mereka tidak akan disini. Mereka bahkan tidak tau apa yang akan terjadi sedetik berikutnya.
Setelah memastikan Yoshi mendapatkan kamar inap, aku memutuskan untuk keluar membeli makanan untuk Seunghun dan Byounggon yang bersedia berjaga malam ini. Aku tidak sendiri, aku pergi bersama Linlin sekalian mengantarnya pulang.
Aku melewati koridor dimana disana terdapat kamar-kamar tempat dimana para pasien yang menetap di rumah sakit tinggal. Dalam artian, mereka yang berada di koridor ini adalah orang-orang yang terpaksa harus menjadikan rumah sakit sebagai rumah utama mereka.
Seseorang tanpa sengaja menabrakku karena ia terlalu fokus membaca buku ditangannya. Ia tersentak dan menunduk.
"Maaf."
Aku tersenyum. "Apa yang membuatmu berkeliaran malam-malam begini?"
Linlin yang berada disampingku hanya ikut tersenyum kepadanya.
"Aku tidak bisa tidur," jawab pemuda itu. Ia mengangkat buku komik Doraemon ditangannya. "Aku hanya takut jika aku tidur, aku tidak bangun lagi. Setidaknya, aku ingin menamatkan komik ini sebelum aku mati."
Senyumku mendadak luruh. Begitupun dengan Linlin. Mungkin, pemuda ini adalah orang yang sudah di-diagnosis tidak akan hidup lama. Oleh karena itu ia mengatakan hal tersebut.
"Siapa namamu?" Tanyaku.
"Yedam."
"Baiklah, Yedam-sshi. Apa seseorang berkata bahwa kau akan segera mati?"
"Gunho oppa!" Linlin menyergahku karena menurutnya kalimatku agak sensitif untuk didengar oleh pemuda bernama Yedam ini.
Yedam mengangguk. "Dokter yang mengatakannya."
"Ey, dia manusia juga sepertimu. Kau hanya boleh percaya jika yang berkata seperti itu adalah malaikat maut." Aku membahas tentang diriku sendiri tanpa aku sadari. Bagaimana Yoonbin yang kala itu berkata bahwa aku akan mati.
Setidaknya, dokter mengatakannya berlandaskan perkiraan. Sementara Yoonbin mengatakannya berlandaskan kepastian. Mana yang lebih akurat?
Aku menepuk bahu Yedam sambil tersenyum. "Jangan takut mati. Bukan hanya kau yang akan mengalaminya. Tapi semua orang."
Kemudian aku berderap pergi meninggalkannya yang masih berdiri bingung. Linlin mendengus dan kemudian mengikuti langkahku.
Gadis itu segera menyenggol lenganku. "Kenapa kau mengatakan hal semacam itu padanya, oppa? Bagaimana jika ia sakit hati?"
Ku helakan nafasku sambil terus mengayunkan tungkai. "Aku hanya ingin dia tidak merasa tertekan soal kematian."
"Tetap saja, dia--"
"Linlin," aku memotong ucapannya sambil menghentikan langkah. Netraku kubiarkan menyelami maniknya sesaat. "Kau tidak akan pernah tau kapan sesuatu menjadi terakhir kalinya bagi seseorang. Bisa jadi ini terakhir kalinya ia berjalan, terakhir kalinya ia mengatakan maaf pada seseorang, ataupun terakhir kalinya ia membaca komik Doraemon. Dibanding memberikan harapan tentang kehidupan, lebih baik memberinya pencerahan bahwa kematian tidak seburuk itu."
Linlin menatapku jengah sekaligus tidak paham. Mungkin ia heran kenapa aku mengatakan hal mengerikan tersebut. Tapi kalimat itu aku buat berdasarkan sudut pandangku--sebagai orang yang sudah pernah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
altero ✓
FanfictionKeita menggantikan Gunho untuk bernapas menggunakan paru-parunya. Dia kemudian menyadari, tubuh itu--penuh dengan penyesalan.