[15] Impact

2.5K 692 50
                                    

"Kau anak kecil itu kan?" Tanya Gunho.

Aku mengernyit bingung. "Anak kecil siapa?"

Gunho semakin berjalan mendekat. "Kau si mungil yang meronta didepan pintu menyuruh para suruhan ayahku untuk melepaskanku. Karena kau tidak sengaja melihat mereka eung--menyiksaku?"

Sesaat kemudian, pikiranku terlempar mundur. Tepat pada masa yang telah digambarkan oleh Gunho situasinya. Dan sekarang aku ingat. Aku ingat bahwa aku tidak sengaja melewati sebuah gudang saat tersesat ketika untuk pertama kalinya aku sampai dikorea. Saat itu pintu gudangnya terbuka sedikit. Dan aku bisa melihat seorang bocah yang dirantai.

"Aku masih terlalu naif saat itu. Aku sangat syok mendapati tindak kriminal didepan mataku." Aku memandang Gunho masih tidak percaya. "Anak itu adalah kau? Dan ayahmu sendiri yang melakukan hal sekeji itu padamu?"

Kini aku mengerti perkataan yang pernah ayah Gunho katakan padaku. Jadi alasannya adalah ini. Ia pernah menyiksa anaknya sendiri.

Gunho tersenyum miris. Dan sudah bisa dipastikan. Siapapun yang mengalami hal tersebut pasti akan memiliki trauma. Kupikir, hanya aku. Hanya aku yang takut pada masa laluku sendiri. Ternyata ada yang lebih parah.

"Tapi kenapa?" Aku memandang Gunho tak habis pikir. "Kenapa dia melakukannya?"

Gunho mengedikkan bahu. "Sampai sekarang aku juga tak paham. Yang kutau, orang tua asliku adalah penyebab istri ayahku mati."

Aku menahan nafas setelah mendengarnya.

"Tapi--" Lidahku tercekat begitu hebatnya. "Ini tidak adil."

Gunho terkekeh mendengarnya. "Kau juga mengatakan hal yang sama waktu itu. Betapa tidak adilnya dunia ini. Seseorang bisa dihukum hanya karena ia dilahirkan--sekalipun ia tidak pernah mengharapkannya."

Aku diam. Masih mencoba mengingat. Usiaku 6 tahun kala itu. Jika tidak salah ingat. Berarti, usia Gunho 7 tahun. Aku duduk didepan pintu gudang setelah tidak berhasil membuat seseorang membukakan pintu untuk Gunho. Meskipun saat itu aku belum mengenalnya, aku merasa kasihan padanya. Aku mengajaknya berbicara, meskipun dibatasi oleh dinding. Udara sangat dingin, aku yang masih polos hanya terus berujar agar badanku sedikit lebih hangat. Tapi Gunho tidak menjawab.

Aku anak yang cukup tanggap. Saat aku sampai dikorea dan tak mendapati siapapun yang kukenal--saat itu aku langsung mengerti bahwa aku sudah dibuang. Karena itu ketika aku medapati Gunho dengan kondisi semiris itu--aku merasa dunia terlalu tidak adil. Kami masih sangat kecil, namun aku dan dia sama-sama diperlakukan tidak selayaknya anak kecil yang lain.

"Apa dilahirkan bisa jadi merupakan suatu kesalahan?" Aku menunduk lirih.

Gunho tersenyum. "Awalnya kupikir juga begitu. Namun setelah semuanya terjadi, aku menemukan poin baru. Bahwa kau tidak dilahirkan untuk dirimu sendiri--melainkan untuk orang lain."

Aku menegakkan kepalaku. Memandang Gunho sangat dalam. Seakan-akan tengah mencari makna dibalik kalimatnya lewat tatapan.

"Waktu itu, kau mengatakan hal yang sama dengan yang baru saja kau katakan pada bayangan masa kecilku. Bahwa sesulit apapun, aku tetap akan melewatinya. Hari berganti, waktu berjalan dan aku bertahan karena mempercayai ucapan itu. Kau membuatku bertahan. Kau Keita. Jika kau tidak mengatakan itu, aku mungkin sudah mati menahan nafasku sendiri. Kau membuatku hidup lebih lama." Pandangannya terkesan tulus menatapku.

Sialnya, mataku memanas. Sensasi seperti ini belum pernah kurasakan sebelumnya. Rasanya sesak, namun melegakan.

Seseorang tidak pernah tau dampak keberadaannya bagi orang lain. Bisa saja, kalimat sederhana yang ia lontarkan pada seseorang bisa menyelamatkan orang itu dari keinginan untuk mati--atau bahkan sebaliknya.

altero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang