[5] About

3.1K 794 100
                                    

"Halo."

Aku berjengit kaget mendapati sosok Gunho yang duduk di atas tempat tidur. Anehnya, entah sejak kapan aku pun duduk berhadapan dengannya. Aku menilik seluruh tubuhku. Kali ini, aku berwujud Keita yang lama.

"Yoonbin bilang, aku boleh datang ke mimpimu," Gunho berujar sambil tersenyum melihatku yang kebingungan.

"Ah, jadi ini hanya mimpi," lirihku.

Gunho berdiri dan mengamati sekeliling kamar yang dulu adalah miliknya. Meskipun ini mimpi, yang terlihat saat ini bagiku sangat nyata. Suasana apartemen dan sekitarnya sangat sesuai dengan aslinya.

"Kau tidak mengubah tata letak sedikit pun?" Gunho tersenyum sambil memandang deretan foto polaroid.

"Kenapa kau datang?" tanyaku menuju inti.

"Sopan sedikit. Panggil aku hyung." Suara Gunho sangat lembut. Ia tidak tampak marah. Lebih kearah menasehati.

Dari situ aku yakin, dia benar-benar orang yang baik. Aku jadi tidak sampai hati mau membantah.

"Baiklah, eung... hyung?"

Gunho tertawa melihat ekspresiku yang kikuk dan kurang nyaman.

"Bagaimana?" tanya Gunho tiba-tiba bergerak cepat kembali kearahku.

"Apanya?"

"Rasanya tinggal ditubuhku."

Aku menerawang sebentar.

"Tidak buruk." Aku berujar jujur. Sejauh ini rasanya baik-baik saja. Semuanya sangat tercukupi. Dari mulai perlakuan yang kuterima, maupun materi.

Berkat buku coklat Gunho. Aku bisa tau semuanya. Dari mulai ayahnya yang tak memperdulikannya, sampai identitasnya yang merupakan anak presdir yang tidak boleh diketahui banyak orang, juga soal ia yang sampai sekarang tidak tau kemana perginya sosok ibu.

Bagiku, soal ayah yang tidak perhatian bukanlah menjadi masalah besar. Selama belasan tahun dalam hidupku aku berada di panti asuhan. Jadi aku sudah terbiasa.

Gunho mengangguk-angguk mengerti. "Jika kau tau sesuatu, tetaplah seperti ini. Tetaplah bersikap biasa saja. Jangan jadi selemah aku."

Aku mengkerutkan keningku. Dari awal, aku ingin sekali mempertanyakan banyak hal tentang Gunho. Ada beberapa yang tidak ia tulis di buku coklatnya. Salah satunya adalah alasan ia melakukan self-harm, mengapa tubuhnya bereaksi aneh ketika menjumpai pria bertopi kemaren. Ah, dan juga siapa itu Junkyu?

"Gunho hyung." Akhirnya, aku memutuskan untuk bertanya. "Junkyu, siapa dia?"

Aku terkejut karena ekspresi Gunho berubah jadi muram. Ia memandangku dan mencoba untuk tersenyum. Tapi kali ini, kurasa senyumnya sangat berbeda. Lebih ke sebuah senyum hasil paksaan.

"Kau bertemu seseorang bernama Jihoon, ya?" tanya Gunho.

"Ah, jadi namanya Jihoon?" aku mengangguk-anggukkan kepala tanda aku mengerti. "Kau berteman dengannya hyung? si pencopet itu? Tapi sepertinya dia membencimu."

Sekali lagi, perubahan ekspresi yang ketara kurasakan pada raut Gunho. Aku jadi tidak enak sudah bertanya.

"Aku bahkan tidak tau dia jadi pencopet," Gunho berujar lirih sambil menunduk. Namun hanya sebentar, sebelum kemudian dia kembali memandangku. "Apa yang dia katakan kepadamu?"

"Dia bilang tidak akan memaafkanmu jika si Junkyu itu masih dianggap sampah." Aku teringat sesuatu. "Ah, dan juga, aku bergetar sangat hebat ketika aku bertemu dengannya. Seperti serangan panik. Kau tau kenapa, hyung?"

altero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang